Siapa Pelaku yang Paling Potensial Merekrut BMI Perempuan Menjadi ‘Radikal’ ?

Other

by Arif Budi Setyawan

Ini tulisan terakhir tentang BMI perempuan dan radikalisasi online dalam sepekan ini


Jika bicara siapa pelaku yang aktif ‘merekrut’ para BMI perempuan dan para wanita-wanita yang lain untuk menjadi radikal atau pendukung kelompok radikal, maka saat ini dapat dipastikan pelakunya adalah para pendukung ISIS. Mengapa?


Karena mereka butuh pendukung-pendukung yang baru untuk menopang jalan perjuangan mereka, dan menyebarkan ideologi mereka adalah bentuk ketaatan atau loyalitas mereka kepada khilafah versi mereka. Selain itu menyebarkan ideologi/pemahaman mereka itu juga mereka anggap sebagai kesempurnaan beragama.


Di antara para anshar daulah (pendukung ISIS) penyebar virus ekstremisme yang paling berpotensi atau paling berbahaya adalah mereka yang sedang dipenjara dan punya akses internet. Mereka menjadi berbahaya karena mereka tidak ada pekerjaan lain, sehingga bisa fokus pada penyebaran virus ekstremisme yang mereka anggap sebagai bentuk perjuangan yang bisa dilakukan walaupun sedang dipenjara.


Yang tadinya ketika di luar masih belum bisa apa-apa, ketika dipenjara bisa menjadi semakin ahli karena berkumpul dengan kawan-kawan sepemikiran dan punya akses internet serta punya banyak waktu untuk belajar baik secara online maupun offline.


Saya menjadi saksi betapa beberapa orang napiter yang ketika pertama kali masuk penjara tidak bisa apa-apa, satu atau dua tahun kemudian bisa memiliki fans setia yang hampir setiap malam berceramah by phone sambil membaca artikel di layar smartphone-nya. Entah siapa yang menjadi pendengarnya.


Kepemilikan smartphone di dalam penjara itu sebenarnya terlarang. Tetapi selalu saja ada celah yang bisa dimanfaatkan untuk bisa memiliki smartphone. Kasus rusuh Rutan Mako Brimob pada Mei 2018 yang lalu sudah cukup membuktikannya. Di mana pada waktu itu beredar video rekaman kejadian di dalam Rutan Mako Brimob dari para pelaku.


Tapi sekarang negara sudah menyadari bahwa berkumpulnya mereka dalam satu tempat dan adanya smartphone merupakan ancaman dalam penyebaran virus ekstremisme. Hal itu kini benar-benar telah diminimalisir sedemikian rupa.


Misalnya dengan penempatan para napiter yang beresiko di lapas-lapas Super High Risk Security yang menempatkan mereka dengan sistem one man one cell dan pengawasan CCTV yang ketat. Selain itu yang bisa besuk mereka hanya keluarga inti yang memiliki surat izin besuk dari Dirjenpas.


Ketika dibesuk keluarganya pun mereka dibatasi oleh sekat sehingga interaksi dengan orang lain diminimalisisr sedemikian rupa. Harapannya dengan kondisi yang super sulit seperti itu mereka kemudian akan sadar atau minimal berpikir ulang tentang jalan perjuangan yang mereka tempuh, lalu ketika kembali ke keluarganya mereka benar-benar tidak akan mengulangi kesalahan yang sama.


Tapi apakah itu akan efektif? Bagaimana jika mereka berhasil bertahan sampai bebas? Lalu ketika bebas di antara mereka malah ada yang semakin dendam dengan negara? Lebih parah lagi malah ada yang kemudian berpikir daripada susah-susah cari penghidupan baru yang pasti semakin berat karena status mantan napiter, mereka kemudian malah memilih untuk melakukan bom bunuh diri?


Maaf jika kata penutupnya terkesan menakut-nakuti. Tapi tidak ada salahnya kan jika kita memikirkannya dari sekarang sebagai langkah awal untuk mengantisipasinya? Ingat, tidak ada satu pun produk manusia yang sempurna.

Komentar

Tulis Komentar