Tujuh Belas Tahun Bom Bali I: Perbedaan Sasaran Teror

Analisa

by Eka Setiawan

Tujuh belas tahun yang lalu, hari yang sama, Sabtu 12 Oktober, terjadi aksi teror yang bisa dibilang terbesar di Indonesia hingga saat ini. Adalah insiden Bom Bali tahun 2002 yang dikenal peristiwa Bom Bali I. Korban jiwanya mencapai 202 orang, sebagian besar adalah wisatawan asing yang sedang menikmati indahnya Bali.

Lalu sekarang, belasan tahun kemudian, apakah aksi teror itu selesai? Jawabannya tentu saja tidak. Teranyar, Kamis (10/10/2019) lalu, aksi teror terjadi di Alun-Alun Menes, Pandeglang, Provinsi Banten.

Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Polhukam) Wiranto diserang pasutri menggunakan pisau. Serangan itu juga melukai beberapa orang lain, termasuk kapolsek setempat, Kompol Dariyanto.

Polisi kemudian merilis secara kontinyu perkembangan insiden itu, disebutkan pasutri Syahril dan Fitri itu adalah bagian dari Jamaah Ansor Daulah (JAD) kelompok teror lokal yang berafiliasi dengan ISIS. Kelompok yang diprakarsai gembong teroris Aman Abdurrahman, si terpidana mati.

Pada peristiwa Bom Bali yang akhirnya melahirkan Undang-Undang Terorisme kali pertama di Indonesia yakni Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 (kini diperbarui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018), polisi juga merilis kelompok yang bertanggung jawab. Adalah Jamaah Islamiah (JI) yang ketika itu bertanggung jawab atas insiden Bom Bali.

Pelakunya, Amrozi Cs, ditangkap kemudian dijatuhi hukuman mati. Meski demikian, aksi teror tak berhenti. Ada serangan Kedubes Australia, Bom Bali II, Bom Marriot dan beberapa peristiwa lainnya.

Artinya, meski para pelakunya ditangkap, adapula yang dijatuhi hukuman mati setelah vonis pengadilan termasuk tewas saat penggerebekan aparat keamanan, sekali lagi, aksi teror terus terjadi.

Dalam kurun waktu 17 tahun ini, berangkat dari Bom Bali I, kalau dilihat lebih detil ada perbedaan, baik pola serangan maupun sasaran.

Pada era sebelum 2010, sekira mulai tahun 2000, aksi-aksi teror yang terjadi di Indonesia didominasi mereka dari kelompok JI. Sasarannya bisa dikategorikan apa saja yang menjadi simbol – simbol Barat, mulai dari kafe, hotel maupun kantor kedutaan besar.

Salah satu sebabnya, sebab Barat dianggap biang keladi karut marutnya perekonomian, dianggap “jahat”, pantas dimusuhi. Ada labelisasi serangan itu sebagai menyerang Barat adalah menyerang ‘kafir’. Doktrinasi semacam perang suci.

Orang-orangnya yang terlibat di kelompok itu juga beberapa di antaranya sempat terlibat “jihad global”, baik di era 80-an di Afghanistan ketika berperang melawan Soviet, maupun era awal 2000’an di Filipina, bergabung dengan kelompok pemberontak Muslim di sana, Moro Islamic Liberation Front (MILF) melawan pemerintahan setempat. Narasi yang dibangun adalah “saudara sesama Muslim harus ditolong dengan angkat senjata”.

Semakin meredupnya kelompok itu, seiring penangkapan besar-besaran, aksi teror yang terjadi tak lagi menyasar simbol-simbol Barat. Aksi besar juga tidak terjadi, tak seperti kejadian Bom Bali.

Namun, serangan yang kini terjadi cenderung tak terarah, sulit ditebak,  termasuk serangan-serangan oleh kelompok kecil saja, bahkan oleh segelintir individu. Serangan terhadap Wiranto salah satunya.

Panggung kelompok baru

Pada 2014, setelah terjadi deklarasi pendukung ISIS di Bundaran Hotel Indonesia, serangkaian serangan terus terjadi. Tak hanya itu, gelombang orang-orang Indonesia ‘berhijrah’ ke Siria dan Irak-tempat bercokolnya ISIS- juga terbilang banyak.

Bahkan, Indonesia juga menempati posisi ke 2 terbanyak yang warganya ‘berhijrah’ ke tempat di mana ISIS bercokol dan ditangkap.

Data Kementerian Dalam Negeri Turki, seperti dilansir News.com.au, dari total 4.957 militan asing ISIS yang ditangkap di Turki, warga Rusia menempati jumlah terbanyak dengan 804 orang, kemudian diikuti Warga Negara Indonesia (WNI) berjumlah 435 orang.

Untuk aksi teror yang terjadi di Indonesia pasca 2010 itu, di antaranya; Bom bunuh diri di Masjid Az Zikra, Komplek Mapolresta Cierbon (2011), Penembakan dan pelemparan granat kepada polisi di Pospol Serengan dan Pospol Gladak, Surakarta (2012), bom bunuh diri di depan Masjid Mapolres Poso (2013), Teror Bom dan penembakan dengan sasaran pospol dan polisi di Jalan MH Thamrin Jakarta (2016).

Selanjutnya; Bom bunuh diri di Mapolresta Surakarta (2016), Aksi teror oleh Syawaludin Pakpahan di Mapolda Sumatera Utara (2016), Aksi teror penembakan kepada anggota Polri di Tuban, Jawa Timur (2017), penyerangan kepada anggota Polri di Mapolres Banyumas (2017), Bom Kampung Melayu (2017) hingga penyerangan anggota Brimob di Masjid Faletehan Jakarta dekat Kompleks Mabes Polri (2017). Kemudian insiden Mako Brimob (2018), serangkaian serangan di Surabaya (2018), insiden bom bunuh diri di Pos Polisi di Sukoharjo (2019), maupun teranyar yang terjadi di Banten itu.

Perbedaan pola serangan yang dilakukan kelompok ISIS ataupun individu maupun organisasi yang terafiliasinya, salah satunya disebabkan ajaran tafkiri. Yakni, mengkafirkan sesama Muslim yang dianggap thagut (berhukum selain menggunakan hukum Allah).

Ini juga yang akhirnya membuat mereka menentang adanya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sebab berlandaskan Pancasila, tidak menggunakan hukum Allah atau syariat Islam. Indonesia juga menggunakan sistem demokrasi yang ditentang mereka.

Pandangan ini menyebabkan apapun yang menjadi simbol negara ataupun pendukung demokrasi, termasuk aparatur pemerintahan, TNI, Polri maupun PNS, karena mereka dianggap pendukung thagut.

Berbagai serangan tersebut, ternyata terjadi secara sistematis. Artinya, serangan terjadi bukan tanpa sebab. Melainkan, ada pemicu dan yang memengaruhinya.

Pada serangkaian aksi itu, nama Oman Rahman alias Aman Abdurrahman disebut-sebut berada di balik berbagai serangan tersebut. Jika dirunutkan, nama Oman Rahman alias Aman ini kali pertama muncul saat insiden Bom Cimanggis pada Maret 2004 lalu di Sukamaju, Depok, Jawa Barat.

Aman sendiri setelah terlibat kasus Cimanggis itu, sempat bebas dan kembali masuk penjara karena keterlibatannya pada kasus pelatihan militer di Jalin Jantho, Aceh pada 2009. Pascakasus inilah, Aman mulai lebih aktif menyebarkan propagandanya tentang terorisme.

Titik puncaknya ketika pada tahun 2014, ketika Aman dipenjara di Nusakambangan, dia memanggil 4 orang. Yakni;  Marwan alias Ari Budiman alias Abu Musa, Zainal Anshori alias Abu Fahry, Ustaz M Fachri dan Khaerul Anam alias Abu Hatin untuk datang membesuk. Mereka memenuhi panggilan tersebut.

Di penjara itulah mereka dibaiat sekaligus membentuk kelompok baru bernama Jamaah Anshoru Daulah (JAD), sebagai kelompok pendukung ISIS di Indonesia. Dari sini kemudian terjadi berbagai pertemuan lanjutan termasuk pertemuan di Malang, Jawa Timur, pada 2015.

Pascapertemuan di Malang inilah, serangkaian serangan teror terjadi di Indonesia. Sementara, Oman alias Aman Abdurrahman ini posisinya masih di dalam penjara. Oleh aparat penegak hukum di Indonesia, Aman didakwa terlibat aksi terorisme di Jalan Thamrin, Jakarta Pusat, dijatuhi pidana mati.

Belasan tahun berlalu, apakah aksi-aksi lain akan terus terjadi?

 

FOTO RUANGOBROL/EKA SETIAWAN

Sejumlah wisatawan menikmati sunset di Pantai Double Six, Seminyak, Bali, tak jauh dari Monumen Bom Bali I. Foto diambil pada 30 April 2019.

 

Komentar

Tulis Komentar