Berita seputar aksi penyerangan terhadap Menkopolhukam Wiranto oleh pelaku yang terindikasi kuat sebagai pendukung ISIS masih begitu gencar menghiasi siaran berita di TV dan halaman-halaman media online.
Masyarakat kembali bertanya-tanya; Apa yang mendorong seseorang sampai mau menyerang aparat negara?Mengapa lagi-lagi kembali terjadi penyerangan terhadap aparat negara?
Apalagi yang terakhir ini yang menjadi korban bukan lagi polisi seperti yang sering terjadi sebelumnya. Tetapi seorang menteri. Seorang pembantu Presiden yang mengkoordinasikan urusan keamanan negara. Seorang Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan.
Seorang pejabat tinggi negara yang tentunya memiliki tingkat pengamanan yang tinggi bisa diserang oleh terduga teroris adalah sebuah pukulan telak bagi semua pihak yang berkecimpung dalam dunia penanganan terorisme di Indonesia.
Menurut saya sebagai orang yang pernah jadi bagian dari kelompok ‘teroris’ di masa lalu, Pak Wiranto adalah korban dari sebuah virus berbahaya yang berupa doktrin maut. Doktrin itu berbunyi : “Memerangi thaghut adalah tingkatan tertinggi dari tauhid atau keimanan. Dan mati ketika memerangi thaghut itu lebih baik daripada hidup susah di bawah kekuasaan thaghut”.
Doktrin bahwa kesempurnaan tauhid atau iman adalah dengan memerangi para musuh tauhid (thaghut) menjadi virus berbahaya karena kemudian dalam memerangi apa yang mereka sebut thaghut itu mereka tidak peduli dengan nasib kaum muslimin secara umum. Yang penting mereka bisa memerangi thaghut.
Bagi sekelompok orang yang sangat terobsesi untuk bisa ‘berjihad’ dan mati syahid, pemahaman yang seperti itu membuat mereka bisa lebih leluasa dalam menentukan target yang boleh diserang sesuai dengan kemampuan mereka.
Tidak harus warga negara asing atau antek Amerika, tetapi umat beragama lain dan semua orang yang terlibat dalam membantu atas langgengnya kekuasaan para penguasa yang tidak menerapkan syariat Islam dalam pemerintahannya boleh dijadikan target serangan.
Maka kemudian terjadilah serangan-serangan seperti: bom Mapolresta Cirebon, Bom Gereja Kepunton Solo, penikaman seorang polisi yang sedang berjaga di Polsek Dolo Bima (2011), lalu penembakan dan pelemparan granat pada beberapa pos polisi di Solo (Agustus 2012), rangkaian penembakan polisi di Jakarta di akhir tahun 2013, dan peristiwa sejenisnya yang masih terus terjadi hingga saat ini.
Ketika ada orang ‘gila’ yang ingin membuktikan bahwa tauhid atau imannya sempurna dengan menyerang target yang dibolehkan (dipaksakan untuk dianggap boleh), bukankah ini sangat berbahaya?
Mengapa ada orang yang berani menyerang pos polisi hanya dengan ketapel beberapa waktu yang lalu? Jawabannya: dia ingin membuktikan tingkatan tauhid atau imannya. Tak peduli gagal atau dia dipenjara, yang penting beraksi.
Untuk mendapatkan dana mereka juga menggunakan doktrin pemahaman itu yang dikembangkan lagi sedemikian rupa. Misalnya: jika tidak bisa memerangi thaghut maka setidaknya membantu dengan harta untuk mendukung amaliyah yang mereka rancang. Atau menyantuni keluarga orang-orang yang dipenjara karena mencoba memerangi thaghut.
Dan ada yang lebih bawah lagi tingkatannya yaitu jika tidak bisa membantu ‘perjuangan’ mereka dengan harta, maka setidaknya membantu dengan menyebarkan propaganda dan pemikiran mereka di media sosial, dengan harapan ada anggota-anggota baru yang mendukung kelompok mereka.
Pada tingkatan yang paling bawah inilah radikalisasi online terjadi. Radikalisasi di ranah online membuat semua orang yang punya akses internet berpeluang untuk terpapar virus itu. Tetapi virus itu hanya akan menginfeksi orang-orang dengan kekebalan tubuh yang rendah atau orang yang memang sedang sakit.
Dan kedua pelaku penyerangan terhadap Bapak Menkopolhukam kita kemarin sangat mungkin terpapar virus berbahaya dari radikalisasi online.
sumber foto: istimewa