Review Film Joker: Tidak Ada Orang Terlahir Menjadi Teroris

Review

by Rosyid Nurul Hakiim

Jika hidup dibayangkan sebagai sebuah puzzle dan manusia di dalamnya adalah kepingan-kepingannya. Maka, Arthur Fleck adalah gambaran kita yang sedang mencari tempat dalam susunan rumit itu. Hal ini tentu tidak pernah mudah. Bahkan proses yang terjadi sepanjang hidup ini bisa mengantarkan kita pada pilihan-pilihan sulit.

Proses tersebut jauh lebih sulit untuk Arthur. Dia harus berjuang di tengah Kota Gotham yang sedang guncang dengan penyakit kejiwaan yang dimilikinya. Pria dewasa yang masih tinggal bersama ibunya itu mencoba mencari tempat dalam hidupnya dengan menjadi badut sewaan. Sebab, menjadi pelawak adalah mimpi besarnya.

Ibunya, yang selalu memanggilnya ‘happy’, percaya bahwa Arthur adalah anak yang selalu bahagia. Dia tidak pernah terlihat menangis. Hanya tawa yang selalu muncul dari wajahnya. Meskipun, kita tahu bahwa tawa itu getir dan ada kesedihan di dalamnya.

Arthur sulit untuk mendapatkan tempat. Dia dianggap aneh dan lemah. Bahkan dia selalu menjadi korban bully, baik dari anak berandal maupun orang dewasa. Hidup yang tidak pernah adil, menempatkan pria kurus itu pada posisi sulit. Hingga akhirnya dia ‘meledak’ menjadi apa yang kita kenal sebagai Joker. Musuh utama si ksatria hitam, Batman.

Todd Phillips, sang sutradara yang pernah menyuguhkan komedi trilogi Hangover ini membawa film Joker dengan nuansa depresi sejak awal hingga akhir. Sehingga seakan-akan kita bisa memaklumi kenapa Arthur bisa menjadi Joker yang menertawakan kematian dan kekerasan. Sampai titik ini, film Joker sepertinya menjadi salah satu yang terbaik dari upaya Hollywood untuk memanusiakan tokoh villain. Karena akting apik Joaquin Phoenix sebagai Arthur Fleck alias Joker dapat secara baik menggambarkan kondisi yang bisa saja kita temui di sekitar kita.

Joker dalam film ini bukan tokoh fantasi yang muncul di komik Batman. Namun, dia adalah manusia yang sedang berproses menemukan tempatnya di dunia. Hal ini kemudian diperkuat dengan situasi Gotham yang sedang tidak stabil. Demonstrasi berakhir kerusuhan, mogok kerja, hingga segregasi sosial yang besar.

Namun dari semua itu, setidaknya film sepanjang 122 menit ini memberikan dua hal menarik.

Pertama adalah soal proses. Tidak ada orang yang terlahir jahat. Joker menjadi gambaran yang rasional untuk menjelaskan kenapa seseorang bisa menjadi teroris. Mereka yang kita temui di dalam berita-berita nasional dan menjadi pelaku dibalik berbagai pemboman, adalah manusia yang berproses. Tidak serta merta mereka memiliki ide untuk menggunakan kekerasan kepada manusia yang lain.

Mereka adalah manusia biasa dengan permasalahan yang kompleks. Permasalahan itu bisa saja soal kekecewaan pada kondisi masyarakat, cinta, atau untuk mencari signifikansi di tengah masyarakat. Arthur adalah anak baik, setidaknya menurut ibunya. Namun, dia memiliki kelainan kejiwaan yang justru membuatnya sering diperolok. Padahal dia ingin sekali mendapatkan tempat dan menjadi signifikan. Sayangnya, proses menggiringnya pada kekerasan dan kekerasan itu yang membuatnya merasa ‘ada’. Bukan karena ideologi.

Kedua, munculnya Joker adalah kesalahan kita. Kenapa demikian? Karena entah kita ingin menutup diri pada orang lain, atau kita yang tidak peduli dengan sekitar kita, sehingga orang-orang yang membutuhkan bantuan seperti Arthur Fleck tidak diperhatikan. Adalah kebutuhan utama untuk mendapat perhatian dan didengarkan. Namun, seberapa banyak kita mau memperhatikan orang-orang di sekitar kita yang sedang membutuhkan?

“Seandainya yang mati adalah saya, kalian hanya akan melangkahinya saja” kata Joker. Kekecewaan dia begitu dalam soal masyarakat yang mengabaikannya. Soal mereka yang membuat standarnya sendiri, siapa yang lucu dan tidak. Soal sistem yang tidak pro pada masyarakat kelas bawah.

Pada satu titik, kita sebagai masyarakat justru mengkucilkan mereka yang ingin didengar. Hanya karena kita tidak paham, maka kita takut pada mereka. Hal yang sama sering terjadi pada para mantan terpidana teroris. Stigma membuat masyarakat takut dan mengalienisasi mereka dan keluarganya. Sehingga satu-satunya pilihan adalah kembali ke kelompoknya.

Atau kita mengabaikan orang yang memang sedang bergairah soal agamanya. Tanpa perhatian kita, mereka justru terjebak pada kelompok-kelompok ekstrem. Sehingga mempercepat proses mereka untuk melakukan kekerasan yang didasarkan agama. Sesuatu yang justru merugikan masyarakat itu sendiri.

Belajar dari film Joker, ada baiknya kita mulai memberikan perhatian pada orang di sekitar kita. Memberikan dukungan daripada membuat guyonan pada kekurangan yang ada pada orang lain. Mari kita lebih banyak berempati.

Komentar

Tulis Komentar