Ketika Internet “disulap” Jadi Platform Perekrutan Kelompok Radikal

Other

by Eka Setiawan

Oleh: Muhammad Nur Rizal

(Inisiator Gerakan Sekolah Menyenangkan, Pengajar di Teknik Elektro dan Teknologi Informasi UGM)

 

Internet memungkinkan orang berkomunikasi melintas jarak dan waktu dengan sangat cepat. Jejaring pertemanan hingga keanggotaan komunitas memungkinkan terbentuk dari hasil kemajuan teknologi itu.

Namun, bukan berarti tanpa risiko. Salah satunya tentang pola rekrutmen kelompok radikal ISIS. Media sosial berbasis internet “disulap” jadi platform perekrutan kelompok radikal.

Seperti pada film “Jihad Selfie” karya Noor Huda Ismail, yang sebelumnya sempat diputar di KBRI Seoul (dimuat di harian Republika). Pada film itu diceritakan kelompok ISIS memanfaatkan internet untuk rekrutmen anggota. ISIS menyebarkan informasi dengan mudah dan cepat tanpa melalui proses verifikasi yang seharusnya.

Ini adalah pola baru perekrutan, melintas batas, jarak dan waktu dengan cepat. Adanya teknologi hal itu memungkinkan terjadi.

Siapa sasaran mereka? Tentunya pengguna internet, kemudian lebih khusus lagi seperti; anak-anak muda, perempuan “kesepian” ataupun orang-orang galau yang sedang dalam fase pencarian jati diri.

Berdasar data yang dipublikasikan WeAreSocial pada 2016, pengguna internet di dunia telah mencapai hampir separuh jumlah penduduk di bumi, yakni 3,4 miliar dari total 7,4 miliar.

Data lain di Indonesia juga menunjukkan, sekitar 46 persen pemakai internet diisi anak-anak remaja SMA atau 70 persen oleh kalangan usia 20 tahunan.

Banyaknya pengguna internet itu, sangat masuk akal jika propaganda idelogi ISIS disebar di sana. Kampanye media yang pragmatis dilakukan ISIS, dan ini dibutuhkan anak-anak muda di dunia.

Mudah tergiur

Mengapa anak-anak muda gampang tergiur propaganda ISIS atau kelompok sejenisnya?

Urie Bronfenbrenner (1917) menjelaskan, perkembangan anak-anak atau remaja sangat dipengaruhi lingkungan terdekat (mikro) hingga lebih luas (makro), bahkan lingkungan kronosistem, yakni lingkungan sosiohistoris anak.

Sementara itu, kebutuhan utama anak-anak muda atau remaja adalah menyangkut pemenuhan identitas diri, eksistensi, dan tantangan baru.

Tayangan video jihad oleh ISIS di internet berpotensi membuka katup pemenuhan akan tantangan baru tersebut.

Secara sosiohistoris, tayangan video itu tidak lagi menakutkan bagi mereka yang lahir di era digital. Berbeda dengan orang tua yang lahir sebelumnya. Mereka cenderung takut atau akan menghindari tayangan itu.

Bagi kalangan anak muda itu, unggahan video jihad berhasil mendekatkan gap atau jarak psikologis mereka terhadap aktivitas perang, seperti layaknya tayangan reality show yang menghibur.

Hasrat mereka untuk bergabung ke ISIS justru menjadi tantangan, seolah terlibat perang dalam video games dengan medan laga yang nyata. Mereka merasa lebih eksis karena merasa terlibat untuk membuat sejarah peradaban baru dengan berjihad.

Generasi one klik

Perkembangan teknologi internet juga memungkinkan seseorang dapat membuat keputusan dengan cepat tanpa pikir panjang.

Penyebabnya ada dua faktor: keberadaan mesin pencari informasi dan faktor internal diri yang tidak kritis untuk memilah derasnya informasi.

Mesin pencari informasi seperti Google memungkinkan penggunanya, dengan mudah dan cepat memperoleh informasi yang diinginkan. Hanya dengan sekali klik menekan tombol enter, informasi telah tersaji di depan mata.

Kecepatan akses inilah yang akhirnya akan melahirkan generasi baru yang disebut “generasi one klik” atau “generasi instan”. Generasi yang membutuhkan kecepatan tinggi untuk memenuhi keinginannya. Mereka cenderung cepat putus asa ketika prosesnya lambat dan memakan waktu lama.

Sikap ingin cepat, serba instan, tentu banyak menimbulkan dampak negatif daripada positifnya. Generasi galau, cepat putus asa, jika berjumpa dengan sesuatu yang menyangkut kebijakan atau program pemerintah, mereka cenderung apatis.

Waktu tunggu inilah yang dimanfaatkan pihak lain, yang sok populis dengan suara lantang menawarkan solusi instan. Jihad disertai ayat-ayat agama ditawarkan dengan manis. Inilah kerja ISIS atau kelompok sejenisnya memanfaatkan “generasi one klik” itu.

Kelompok itu percaya apa yang mereka tawarkan akan disambut. Anak-anak muda akan lebih memilih mereka sebagai jalan pembebasan daripada menunggu kebijakan negara yang cenderung lambat.

Faktor kedua yang jadi penyebab keputusan diambil tanpa pertimbangan matang tadi adalah rendahnya kemampuan berpikir kritis.

Beyer (1985) mendefinisikan bahwa kemampuan berpikir kritis adalah kemampuan menilai valid tidaknya suatu informasi. Sedangkan Chance (1986) menambahkan, berpikir kritis adalah kemampuan menganalisis fakta secara utuh, dan menggunakannya untuk membuat solusi atas suatu masalah.

Bagi mereka yang tergoda ISIS, melimpahnya informasi sebagai dampak teknologi internet tidak otomatis membuka cakrawala berpikir mereka. Terbuka lebarnya kanal informasi ini justru digunakan untuk memperkuat ideologi atau menyuburkan nilai-nilai keyakinannya.

Alih-alih ingin membaca pemikiran yang berbeda, wawasan mereka justru menyempit oleh dalamnya bacaan yang tersedia di internet. Kedalaman informasi itu terkadang digunakan untuk menjustifikasi pihak lain bersalah, atau menghukum kepada siapa saja yang berseberangan.

Padahal, Islam mengajarkan kepada umatnya untuk bertabayun, yakni mencari pendapat lain ketika menerima berita yang masih simpang siur. Makna tabayun sejalan dengan pengertian berpikir kritis, yakni kemampuan mengevaluasi berbagai informasi sebelum membuat keputusan yang solutif dan komprehensif.

Berpikir kritis atau tabayun tidak dilakukan oleh mereka yang tergiur ISIS. Berpikir kritis memahami keberagaman informasi dan budaya literasi digital, perlu digalakkan di sekolah-sekolah, khususnya pendidikan dasar dan keluarga, sebagai fondasi pengembangan karakter positif anak.

Pendidikan di sekolah tidak boleh mengukur prestasi anak hanya dari angka atau nilai ujian, melainkan harus merangsang kekritisan berpikir.

Budaya dan pembelajaran di sekolah perlu diperbanyak dengan memantik pertanyaan dan diskusi agar anak-anak berusaha mencari jawaban dari berbagai referensi.

Mempersiapkan generasi yang kritis dan melek digital adalah kunci, agar mereka tidak gampang terpancing paham radikalisme yang memanfaatkan kemajuan teknologi.

 

*Tulisan ini telah terbit di Koran Republika Sabtu 26 September 2016 berjudul "Critical Thinking dan Radikalisme"

 

FOTO DOK. PRIBADI

Komentar

Tulis Komentar