Khilafah Islamiyah merupakan konsep pemerintahan yang pada akhir-akhir ini kembali mengemuka dan menjadi tuntutan sebagian umat Islam di banyak belahan negara di dunia, terutama semenjak berdiri Negara Islam Irak dan Syam (NIIS) dan pecahnya konflik di Suriah. Lantas, apa yang menjadikan umat begitu menginginkan untuk kembali hidup di bawah payung khilafah? Ataukah, ini hanyalah bagian dari romantisme mereka atas kerinduannya pada sistem peradilan di bawah panji Khilafah Islamiyah?
Untuk menjawab ini, tentu kita tidak bisa memisahkan pada sejarah awal kekhilafahan dan kemelut yang terjadi di Suriah dimana hingga kini tak kunjung terurai dan menemukan titik temunya.
Kekhilafahan sendiri pertama kali berdiri pasca wafatnya Nabi Muhammad pada tahun 632 M atau tahun 11 H. Kekhilafahan ini terdiri atas empat khalifah pertama dalam sejarah perkembangan Islam, yang kemudian disebut sebagai masa Khulafa’ur Rasyidin. Keempat khalifah tersebut diantaranya Abu Bakar Ash Shidiq, Umar Bin Khattab, Usman Bin Affan dan Ali Bin Abi Thalib.
Setelah itu, sistem ini terus berlanjut hingga kejatuhan Turki Ustmani pada 3 Maret 1924 di bawah kepemimpinan Sultan Abdul Hamid II yang sekaligus mengakhiri masa pemerintahan Khilafah Islamiyah di dunia hingga kini.
Pasca keruntuhan khilafah, berbagai kelompok jihad di dunia mencoba untuk membangun kembali melalui dakwah dan berbagai aksi pemberontakan bersenjata.
Di Mesir, ada kelompok Ikhwanul Muslimin di bawah kepemimpinan Hasan Al Banna. Di Afghanistan, terdapat kelompok Thaliban di bawah kepimpinan Mullah Muhammad Umar. Di Irak, ada Negara Islam Irak atau Islamic State of Iraq (ISI) di bawah kepemimpinan Abu Umar Al Baghdady. Di Indonesia sendiri ada kelompok Negara Islam Indonesia (NII) melalui gerakan separatis DI/TII di bawah kepemimpinan SM. Kartosoewirjo. Namun semuanya gagal.
Meski selalu gagal, keinginan untuk mendirikan kembali khilafah tak pernah sekalipun menyurutkan semangat berbagai kelompok pergerakan Islam untuk berhenti bersuara dan melakukan perlawanan.
Musim Semi Arab dan deklarasi ISIS
Fenomena ‘musim semi Arab’ atau Arab Spring barangkali menjadi babak baru sebagai jalan menuju kekhalifahan yang telah lama dirindukan.
Pergolakan politik yang ada memaksa rakyat turun ke jalan dan mulai melakukan perlawanan kepada rezim pemerintah yang dianggap telah bertindak lalim. Akibatnya, pertumpahan darah pun tak bisa dihindari. Keberhasilan kelompok oposisi di Mesir dan Libya dalam menyingkirkan rezim yang telah puluhan tahun berkuasa, menjadi salah satu pemicu bagi rakyat Suriah untuk memulai perlawanan bersenjata.
Pada bulan Maret 2011, unjuk rasa menentang pemerintahan Bashar Assad di Suriah dimulai. Dalam beberapa bulan berikutnya, kerusuhan antara pengunjuk rasa dan pasukan keamanan memicu militerisasi konflik secara bertahap. Kondisi inilah yang kemudian dimanfaatkan kelompok Islamic State of Iraq and Sham (ISIS) untuk memobilisasi massa secara luas melalui berbagai propaganda.
Puncaknya, pada 29 Juni 2014, ISIS secara resmi mendeklarasikan Khilafah Islamiyah dengan menunjuk Abu Bakar Al Baghdady sebagai amirul mukminin. Melalui juru bicaranya, Syaikh Muhammad Al Adnani, Al Baghdady menyerukan kepada umat Muslim di seluruh dunia untuk mengambil sumpah setia atau bai’at dan hijrah ke Suriah.
Semenjak itu, umat yang selama ini merindukan kembali hadirnya khilafah, mulai datang secara bergelombang menuju Suriah. Perjalanan hijrah tersebut, menjadi awal dari proses penantian yang panjang dan berliku.
Banyak kalangan menuduh bahwa agenda ISIS tentang slogan Khilafah Islamiyah sama sekali tak mewakili Islam, bahkan sebagian dari mereka tidak ragu mengatakan jika ISIS hanyalah akal-akalan Amerika untuk mengadu domba umat yang terlanjur kepincut dengan konsep khilafah.
Salah satu tokoh mubaligh tanah air yang getol menyuarakan bahaya ISIS adalah Syekh Ali Jaber. Dalam satu kesempatan, ia melontarkan pernyataan yang menyebut bahwa Negara Islam Irak dan Syam (ISIS) sebetulnya didalangi Amerika Serikat.
“Amerika itu musuhnya Islam, ISIS dibentuk oleh Amerika. Meskipun mereka berteriak Allahu Akbar, tetapi sesungguhnya Islam itu di hati,” kata Syekh Jaber seperti dikutip dalam laman Merdeka.com Sabtu (28/2/2015).
Meski demikian, janji-janji manis khilafah yang ditawarkan ISIS nyatanya cukup berhasil menggoda banyak orang untuk segera menyambut seruannya. Jaminan kesejahteraan, keamanan, pendidikan, gaji yang tinggi, hingga pasangan hidup, adalah sederet janji-janji manis yang ditawarkan ISIS sejak awal khilafah berdiri.
Suriah sebagai panggung nostalgia
Kecenderungan orang untuk berangkat ke Suriah dan bergabung dengan ISIS, tentu tidak bisa semata diukur secara parsial melalui janji-janji tersebut. Lebih dari itu, terdapat unsur fundamental yang mendorong seseorang rela meninggalkan kehidupan mapan dan gaya hidup yang dimilikinya, yakni dorongan romantisme akan Khilafah Islamiyah.
Dan tentu, Suriah sebagai panggung khilafah, seolah menjelma sebagai arena untuk bernostalgia, mengenang kembali masa kejayaan pemerintahan Islam yang pernah ada berabad-abad silam lamanya. Sebuah era yang digambarkan dimana seekor serigala pun hingga menjadi vegetarian dan enggan menyantap domba yang ada dihadapannya.
Keyakinan orang-orang pada kekhilafahan di Suriah tentu bukan sebatas mengikuti gelombang arus atau taklid buta. Namun, ada dasar argumentasi yang menjadi sandarannya.
Imam As suyuthi dalam bukunya berjudul Tarikh khulafa’ menuliskan sebuah catatan yang dinukil dari Ibnu Khatim dalam tafsirnya tentang sebuah Atsar dari sahabat Nabi, Abdullah Bin Amru Bin Ash, “Tidak ada dalam seluruh perhitungan waktu sejak dunia ini ada, kecuali akan selalu terjadi suatu yang yang sangat mengemparkan di ujung seratus tahun.”
Secara sederhana, jika keruntuhan Khilafah Islamiyah terakhir terjadi pada 1924. Maka dalam seratus tahun berikutnya yakni di tahun 2024, khilafah akan kembali muncul. Sementara khilafah yang ditawarkan oleh ISIS di Suriah pertama kali dideklarasikan dalam pertengahan 2014 lalu. Karenanya, ini menjadi dasar asumsi atas keyakinan banyak kalangan pada kelompok ISIS sebagai cikal bakal lahirnya Khilafah Islamiyah.
Melihat kenyataan ini, tentu bukan pekerjaan mudah bagi pemerintah untuk ‘membersihkan’ noda pada kebhinnekaan yang sudah dirajut para pendiri bangsa.
Karenanya, negara tidak boleh kalah dalam berbagai doktrin yang berpotensi merusak sendi-sendiri kerukunan dalam berbangsa. Karena jika pemerintah abai, maka bukan tidak mungkin, mengemukanya kembali tuntutan umat terhadap sistem khilafah akan menjadi catatan atas kegagalan pemerintah sebagai kaum nasionalis sekuler. Wallahu’alam…
Source picture: https://thedefensepost.com/2019/03/05/sdf-resume-evacuations-isis-baghuz-syria/