Kenapa Masyarakat Diaspora Rentan Radikalisme?

Other

by Eka Setiawan

Sampai sekarang, tidak ada jawaban pasti dari pertanyaan yang menjadi judul tulisan ini. Tapi paling tidak yang pertama mesti ditekankan di sini, bahwa radikalisme itu tidak sama dengan kegairahan beragama.

Jadi begini, misal; orang yang dulunya jarang salat, tidak pernah puasa, ketika muda merasa banyak dosa kemudian memilih “hijrah”, itu tidak serta merta diklasifikasikan sebagai gejala radikalisme.

Radikalisme yang dimaksud di sini adalah emosi berlebih untuk merasa lebih bersih, lebih asli. Seolah-olah, yang tidak sama dengan mereka adalah musuh.

Hal itu diungkapkan Noor Huda Ismail, pembuat film dokumenter “Pengantin” ketika dilakukan pemutaran dan diskusi film itu di Singapura, Minggu kemarin.

Pesertanya mbak-mbak BMI (buruh migran Indonesia). Mereka antusias, sekaligus sudah pintar-pintar berbahasa Inggris maupun Mandarin.

Saat sesi diskusi, Huda mengemukakan, manusia itu pada dasarnya “tribal”. Artinya, lebih senang berkumpul, berbagi dan mengidentifikasi diri mereka dengan orang-orang yang tidak jauh beda dengan mereka.

Misalnya; cara pandang tentang “hijrah”, bagaimana beragama yang betul, bagaimana cara untuk selamat dunia akhirat, sampai-sampai pada pilihan untuk menjadikan orang lain sebagai “guru religius” mereka.

Dari sini “instinct tribalism” muncul. Ini ditandai dengan mekanisme untuk membuat “batas” dan akibatnya ada pula proses “mengeluarkan” orang-orang yang tidak masuk “batasan” tribal ini.

“Jika dulu bentuk tribal itu adalah ‘offline’ saja, maka hari ini sosial media memberikan wadah tribalism baru,” sebut Huda pada kegiatan itu.

Para diaspora itu, yang berangkat dari status mereka sebagai buruh migran Indonesia di Singapura, juga rentan tergelincir dalam tribalism itu.

Penyebabnya beragam, seperti yang diceritakan para diaspora itu saat masuk sesi diskusi usai film “Pengantin” itu diputar. Sebut saja; merasa sebagai kelompok manusia dengan nasib yang sama, perjuangan yang sama ataupun mengalami kesepian yang sama.

Terlebih ketika mendengar kiriman uang mereka ke suami, malah dipakai selingkuh. Tentunya berbagai hal itu membuat para diaspora ini “bergerak”.

“Sebagai sesama buruh migran di Singapura, saya bisa sama-sama merayakan perjuangan, kesepian dan pedihnya derita mereka (para diaspora) ini,” sambungnya.

Kesedihan mereka, kemarahan mereka, dituangkan di media sosial. Dengan dukungan kencangnya WiFi di negara ini, jadilah mereka korban alogartime dan “echo-chamber” postingan-postingan berita yang merangsang radikalisme itu.

Klop sudah kalau sudah begini. Propaganda kelompok radikal yang disebar di medsos “ketemu” sasarannya. Dunia maya akhirnya diubah jadi platform perekrutan kelompok radikal.

Wallahu’alamu bi showab.

 

FOTO DOK. NOOR HUDA ISMAIL

 

 

 

Komentar

Tulis Komentar