Sepekan terakhir ini, republik mendadak mencekam. Bayangkan, tiba-tiba orang-orang baik tua, muda, laki-laki dan perempuan di hampir setiap sudut pengkolan, dari bilik perkantoran, jalanan, hingga perkampungan pedalaman, seluruh acara televisi bahkan media sosial, semua berbisik tentang sebuah kisah misteri.
Ini bukan lagi soal insiden bakar-bakaran, apalagi tentang referendum Papua Barat yang ingin memisahkan diri dari pangkuan ibu pertiwi. Tapi tentang kisah mahasiswa KKN di Desa Penari, yang konon pernah terjadi di Banyuwangi.
Semua ini bermula dari tread akun Twitter bernama Simple Man yang menulis sebuah kisah horror secara berseri.
Diceritakan, enam orang mahasiswa dari sebuah universitas swasta harus melakukan tugas KKN di pedalaman desa yang konon dulu para perempuannya berprofesi sebagai penari. Lebih tepatnya, menari untuk makhluk memedi.
Berbagai peristiwa ganjil pun kerap mereka temui sejak pertama kali menginjakkan kaki. Layaknya serdadu kompeni, kehadiran mereka di desa tersebut seolah tak mendapat sambutan ramah dari para penghuni dunia dimensi. Hingga akhirnya, dari keenam mahasiswa yang ada, Ayu dan Bima yang menjadi tokoh utama dalam kisah tersebut harus menjadi tumbal makhluk tak kasat mata ini.
Entah apa yang membuat masyarakat kita hingga lupa diri. Sebab tak biasanya kondisi seperti ini terjadi, apalagi masyarakat kita yang amat religi dan jauh dari kesan kemusyrikan dan menolak berbagai unsur mitologi.
Sampai-sampai para politisi kurang kerjaan yang tadinya gemar membuat gaduh republik ini, mendadak beralih profesi menjadi paranormal karbitan dan mengaku punya ilmu kebatinan.
Barangkali mungkin masyarakat kita jenuh dan sumpek melihat drama para petinggi negeri ini, sehingga mereka butuh hiburan baru yang mampu memuaskan hati.
Namun tahukan kalian, bahwa sesungguhnya ada yang jauh lebih menyeramkan dari sekedar Desa Penari, apalagi jika bukan Desa Teroris yang terletak di ujung pesisir utara Laut Jawa.
Jika anda butuh hiburan dan ingin menyegarkan kembali pikiran dari penatnya kerjaan, berkunjunglah ke desa ini. Anda memang tidak akan pernah menemukan penari, suara-suara musik gamelan, apalagi makhluk mistis siluman ular model Badarawuhi. Bukan mereka tak sudi untuk menjamah desa ini, namun lebih tepatnya karena mereka tak punya nyali sebab orang-orangnya yang tinggal disana jauh lebih menyeramkan dan penuh misteri.
Siapa yang tidak ingat tentang peristiwa pengeboman di Bali 2002 silam? Hampir 200 nyawa melayang, ratusan orang terkapar, perekonomian nasional tersuruk ke comberan, bahkan Indonesia menjadi bahan makian dunia internasional. Sehebat-hebatnya Badarawuhi atau Mbah Buyut, mereka tak akan sanggup membuat keributan sebesar ini.
Tidak lama pasca peristiwa tersebut, muncul sosok pria lugu yang digelandang pihak keamanan dan dihadapkan di muka pengadilan untuk menerima vonis mati. Namun masih sempat-sempatnya ia senyum di depan wartawan, “Kalau misalkan saya bebas, saya akan ngebom lagi dengan bom yang lebih besar. Kalau kemarin cuma 200 orang kafir yang mati, nanti harus seribu”.
Mendengar komentar polosnya, publik bergidik tak percaya. Orang gila macam mana yang dengan santainya menguap meski dihadapkan pada hukuman mati. `
Siapa yang tak kenal sosoknya? Ia hanya pria kampung lulusan SMA, namun namanya sampai masuk ke bilik meja presiden Hollywood, Josh W. Bush. Kurang ngeri apalagi?
Dialah Amrozi Bin Nur Hasyim, yang oleh wartawan wajahnya dibilang mirip Duta, vokalis band Sheila On 7 asal Jogjakarta.
Pria asal Desa Tenggulun, Kecamatan Solokuro, Kabupaten Lamongan ini, bersama 2 saudaranya, Mukhlas alias Ali Ghufron dan Ali Imron, menjadi pelaku utama dalam peristiwa tragis tersebut. Dan semenjak itulah, publik menyebut kampung halaman mereka sebagai Desa Teroris. Tak berlebihan memang, sebab dari sanalah berbagai jenis teroris itu lahir. Jika kembali dalam cerita KKN Desa Penari, mungkin Desa Teroris ini bisa dibilang sebagai tempat petilasan yang dikeramatkan.
Dalam catatan penulis, setidaknya ada lebih dari 50 orang yang terlibat dalam sejumlah kasus terorisme. Dimana 16 orang tertangkap pihak keamanan dalam kasus bom Bali, dan selebihnya dalam kasus yang berbeda seperti terlibat jaringan kelompok Poso dan ISIS. Bahkan pucuk pimpinan kelompok Jama’ah Anshorud Daulah (JAD) yang kini mendekam di balik jeruji besi, Zainal Anshori, juga berasal dari sini.
Tentu tidak berlebihan, jika kemudian Lamongan masuk dalam daftar hitam sebagai wilayah dengan tingkat ancaman terorisme yang cukup tinggi.
Kini, setelah hampir 17 tahun pasca peristiwa bom Bali, Lamongan mulai berbenah. Melalui Yayasan Lingkar Perdamaian (YLP) yang digawangi oleh Ali Fauzi, yang juga saudara dari terpidana bom Bali, Amrozi dan Mukhlas, secara perlahan ia ingin merubah stigma Lamongan yang tadinya sebagai tempat produksi teroris, menjadi muara untuk merajut kembali benang perdamaian.
Tentu ini bukan perkara mudah, namun setidaknya usaha ini layak mendapatkan apresiasi yang tinggi.
Foto: Dok. Yoyok Edi Sucahyo