Radikalisme Bisa Berawal dari Ketidakpastian (1)

Other

by Arif Budi Setyawan

Semua orang pasti pernah mengalami atau menghadapi kondisi ketidakpastian. Sering kita dengar ungkapan yang diawali dengan kata ‘ketidakpastian’, seperti; ketidakpastian hukum, ketidakpastian status, ketidakpastian kebijakan, ketidakpastian arah, ketidakpastian nasib, dst.


Orang yang sedang menghadapi kondisi ketidakpastian bisa nggak sih kalau disamakan dengan orang yang sedang kebingungan? Sepertinya mirip-mirip tuh. Anda boleh tidak setuju, tapi izinkan saya untuk punya pendapat bahwa orang yang sedang menghadapi ketidakpastian itu adalah orang yang sedang kebingungan.


Dan di antara orang-orang yang sedang kebingungan itu ada yang kemudian menjadi pelaku aksi teror. Bagaimana itu bisa terjadi? Saya ada sebuah cerita yang bisa membantu untuk memahami prosesnya.


Ada beberapa orang yang dulunya adalah para pelaku kriminal jalanan seperti curanmor, jambret, kurir narkoba, dan lain-lain yang pengin berhenti dan belajar agama yang benar agar hidupnya jadi lebih terarah.


Di satu sisi mereka butuh belajar agama dan di sisi yang lain mereka juga harus menemukan sumber penghasilan baru yang halal untuk menafkahi keluarga mereka. Sama-sama mengawali dari nol. Dan hal itu sudah cukup menyulitkan kehidupan mereka pada saat itu. Ekonomi yang sulit tapi ingin jadi orang saleh.


Persoalan mulai muncul tatkala mereka ini belajar Islamnya dapat guru yang berpemahaman ekstrim. Lebih parahnya lagi di antara mereka ada yang menemukan ‘gurunya’ di internet. Mending kalau nemunya ‘ruang guru’ (layanan bimbel online) yang terkenal itu, masalahnya itu guru yang berpemahaman ekstrim.


Awalnya mereka ingin belajar tauhid sebagai dasar agama Islam. Sampai di sini masih benar. Mulai menjadi tidak benar tatkala ajaran tauhid yang mereka terima itu didapat dari orang-orang berpemahaman ekstrim.


Para ustadz mereka itu (baik di ranah offline maupun online) ketika menjelaskan tentang tauhid, lebih banyak membahas tentang bagaimana mengingkari thaghut daripada membahas bagaimana agar tetap bisa mempertahankan iman pada kondisi yang serba tidak ideal di zaman ini atau membahas masalah akhlak, adab, muamalah, dsb.


Akibatnya muncullah pemahaman bahwa kesempurnaan iman dan tauhid seseorang adalah ketika ia bisa mengingkari thaghut secara sempurna. (Tak peduli adab dan akhlaknya buruk atau muamalahnya rusak).


Nah, masalah semakin menjadi tatkala muncul anggapan bahwa tingkatan tertinggi mengingkari thaghut adalah dengan memerangi thaghut. Inilah yang kemudian menjadi senjata ampuh dalam perekrutan anggota dan para simpatisan kelompok ekstrim radikal sejak dulu hingga sekarang.


Doktrin bahwa kesempurnaan tauhid adalah dengan memerangi para musuh tauhid (thaghut) menjadi virus berbahaya karena kemudian dalam memerangi thaghut itu mereka tidak peduli dengan nasib kaum muslimin secara umum. Yang penting mereka bisa memerangi thaghut dan mati ketika memerangi thaghut itu lebih baik daripada hidup terhina dalam kekuasaan thaghut.


Para mantan kriminal yang sedang belajar agama dan sedang kesulitan ekonomi itu akan cenderung lebih mudah menerima doktrin maut di atas. Mereka ingin jadi shaleh dengan cara instan dan sekaligus menjadi lebih berguna bagi keluarganya. Maka dipilihlah jalan ‘kekerasan’ untuk meraihnya.


Lah kok bisa jalan kekerasan disebut bisa menjadikan seseorang jadi saleh sekaligus lebih berguna bagi keluarganya? Nantikan pada tulisan selanjutnya.


(Bersambung)



 SUMBER ILUSTRASI: https://cdn.pixabay.com/photo/2019/08/24/13/25/tunnel-4427609_960_720.jpg

Komentar

Tulis Komentar