“Hey Anjing! Babi! Monyet! Keluar lo kalau berani! Hadapi kami di depan!” Teriak seseorang dalam sebuah video yang beredar di Internet. Nampak saat itu hari masih sore. Di depannya terdapat bendera merah putih di tiang bambu yang patah.
“Usir Usir Usir Papua, Usir Papua sekarang juga”
Lagu itu membahana di tempat yang sama ketika malam harinya. Ratusan masa kemudian berkumpul dengan seragam sebuah ormas hingga malam hari di depan sebuah asrama mahasiswa.
Tak berhenti sampai disitu. Setidaknya 43 mahasiswa asal Papua harus digiring ke Polrestabes Surabaya. Padahal sejumlah pemuda yang jauh-jauh menuntut ilmu ke Surabaya itu sudah angkat tangan di depan asrama ketika teriakan “monyet” pada sore hari. Penangkapan ini didasarkan pada laporan anggota ormas tentang perusakan berdera merah putih.
Beberapa hari terakhir kembali ramai dengan perbincangan apakah Papua perlu merdeka?
Papua yang awalnya bernama Irian memang selalu menjadi perdebatan. Ternyata perdebatan ini telah terjadi sejak sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia).
Dalam rekaman rapat BPUPKI 10-11 Juli 1945 dimana Kahar Muzakar menyetujui masuknya Papua ke wilayah Indonesia. Hal ini didasarkan kepada sumber daya alam Papua jangan sampai disia-siakan karena itu warisan nenek moyang Indonesia.
Pendapat Kahar diyakinkan oleh Yamin dengan konsep Indonesia Raya yang meliputi wilayah bekas Hindia Belanda, Borneo Utara (Sabah dan Sarawak), Malaya, Timor Portugis (Timor Leste) hingga Papua. Yamin dengan tegas menyatakan “Papua adalah wilayah Indonesia”. Berdasarkan literatur yang meyakinkan, Yamin menambahkan bahwa Papua merupakan daerah penaklukan kerajaan Tidore di Maluku.
Namun Hatta nampaknya kurang sreg dengan gagasan ini. Hatta melihat bahwa kesamaan etnis akan sangat penting sehingga ia lebih sepakat Malaysa dan Borneo Utara yang merupakan bekas Hindia Belanda. “Saya tidak minta lebih daripada tanah ajr Indonesia yang dulh dijajah Belanda” Ujarnya. Hatta mengatakan bahwa Papua merupakan Melanisia sehingga Indonesia belum cukup mapan mendidik rakyat Papua. Lebih baik hal tersebut diserahkan ke rakyat Papua atau dikelola Jepang.
Soekarno kemudian datang menyampaikan keberpihakannya dengan Yamin. Menurutnya, dalam Kitab Negarakertagama, wilayah Kerjaan Majapahit melebar hingga Papua. Soekarno dengan tegas mengatakan bahwa Papua merupakan bagian dari Indonesia.
Ketua BPUPKI, Radjiman Wedyodiningrat mengadakan pemungutan suara atas perdebatan ini. Pilihan pertama adalah seluruh wilayah Hindia Belanda, kedua adalah Hindia Belanda ditambah Malaya, Borneo Utara, Timor dan Papua sedangkan opsi tiga adalah Hindia Belanda ditambah Malaya dan Borneo Utara minus Papua. Hasilnya opsi 1 mendapatkan 19 suara, opsi 2 mendapatkan 39 suara dan 6 suara untuk opsi 3.
Wakil Papua kemudian dilibatkan dalam Konferensi Malino. Saat itu Belanda ingin membentuk negara Federasi. Sedangkan sebelumnya wakil dari Papua tidak pernah dilibatkan. Pada 18 Agustus 1945, Papua dimasukkan sebagai Provinsi Maluku. Sedangkan Gubernurnya, Latuharhary tidak pernah ada di Papua. Kendati demikian, konon Soekarno menggunakan nama Irian usulan dari Frans Kaisiepo untuk wilayah timur Indonesia tersebut sebagai singkatan dari Ikut Republik Indonesia Anti Netherland.
Pada Konferensi Meja Bundar 1949, Belanda menyatakan bahwa Papua bukan bagian dari Indonesia. Hal ini didasarkan atas ras/etnis Papua tidak sama. Namun ini terbantahkan oleh hukum internasional yang berlaku. Opini perbedaan ras dan etnis Papua terus digaungkan Belanda hingga 1961 dimana Belanda ingin membentuk Negara Papua Barat. Namun itu gagal. Tak berhenti disitu, Belanda menandatangani New York Agreement pada 15 Agustus 1962 menyerahkan Papua ke PBB. Hal ini sangat janggal karena jika Belanda mengakui kemerdekaan 1961 maka seharusnya Belanda tidak menyerahkan PBB.
Kepentingan terhadap Papua memang tidak pernah lepas dari Emas. Sejak 1936, Jean Jacques Dozy menemukan cadangan emas di Papua sehingga wilayah ini selalu jadi rebutan. Opini ini terus dibangun hingga pada tahun 2005 berdiri ULMWP (United Liberation Moevement for West Papua). Tak jauh dari Merauke, Amerika Serikat dan Australia telah membangun pangkalan militer di wilayah Papua Nugini di kawasan Sungai Fly.
Jika masalah rasisme terus diberikan ruang, maka perdebatan ini akan berhenti di konflik separatis. Indonesia sebagai negara kesatuan perlu melebarkan ruang kemerdekaan ini hingga Papua. Pembangunan hingga wilayah Timur pun diupayakan dalam rangka mempercepat akses di Papua. Pemerintah perlu menindak tegas provokasi-provokasi.