Peran Radio dalam Propaganda Perjuangan Rakyat Indonesia (4-Habis)

Other

by Arif Budi Setyawan

Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) dan Radio Yengkie Bravo Juliet-6 (YBJ-6)


Tonggak-tonggak revolusi Indonesia telah melahirkan banyak peristiwa yang menjadi tonggak-tonggak penting dan menentukan dalam upaya merebut dan mempertahankan kemerdekaan Tanah Air. Itu terjadi dalam tenggang waktu tahun 1945 hingga 1949.


Ada perjuangan heroik di Surabaya pada 10 November 1945, ada diplomasi politik St Sjahrir, Amir Sjarifuddin, dan Hatta. Ada perlawanan Jenderal Soedirman yang tidak bisa menerima kapitulasi (pengakuan kalah) Sukarno-Hatta pada 19 Desember 1948 kepada pasukan Belanda di Yogyakarta.


Dan jangan lupa, salah satu tonggak yang menyatu dengan roh dan napas revolusi Indonesia adalah lahirnya Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) pimpinan Sjafruddin Prawiranegara di sebuah desa kecil Halaban dalam wilayah Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat, pada 22 Desember 1948.


Sebelum Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta diangkut pasukan Belanda pada 19 Desember 1948, kawat masih sempat dikirimkan kepada Menteri Kemakmuran Sjafruddin Prawiranegara dalam Kabinet Hatta yang sedang berada di Bukittinggi dan kepada Dr Sudarsono, LN Palar, dan AA Maramis di India.


Isi kawat agar dibentuk segera pemerintah darurat di Sumatera atau pemerintah dalam pengasingan di India, sekiranya perjuangan dalam negeri gagal. Karena Bukittinggi sudah tak aman, Sjafruddin dan banyak tokoh pejuang lain harus menyingkir ke kawasan yang lebih aman.


Sekalipun kawat tak sampai karena komunikasi telah dirusak, Sjafruddin dan para pejuang yang lain dengan cekatan dan penuh rasa tanggung jawab membentuk PDRI dalam kesunyian lingkungan desa, tiga hari setelah Sukarno-Hatta tidak bisa berfungsi lagi sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Pemerintah pusat lumpuh.


Terjadi kekosongan kekuasaan pada tingkat tertinggi selama tiga hari itu (19-22 Desember). Dengan lahirnya PDRI yang mendapat dukungan sepenuhnya dari Jenderal Soedirman, kekosongan itu cepat terisi dengan mandat sah.


Pemerintahan darurat yang yang dibentuk di Bukittinggi pun tidak luput dari kepungan tentara Belanda. Pemerintahan darurat yang kala itu dipimpin oleh Sjarifuddin Prawiranegara tidak berdaya dan menyingkir ke Payakumbuh untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) pada tanggal 19 Desember 1948 beserta susunan kabinetnya. Sejak saat itu PDRI dianggap lawan yang mengancam bagi Belanda.


Dalam sebuah tonggak sejarah, sebuah daerah di Nagari Lubuk Jantan Kecamatan Lintau Buo Utara yakni Lareh Aia memiliki kenangan sejarah dalam penguatan kemerdekaan Indonesia.


Adalah kisah Radio Yengkie Bravo Juliet-6 (YBJ-6) dengan frekuensi 3035 KC/8 yang menjadi corong PDRI dalam mendengar dan memberi kabar saat itu, sekitar tahun 1948.


Alat ini mampu menerima dan mengirim radiogram dan juga memonitor berita dalam maupun luar negeri. YBJ-6 menjadi senjata menghadapi musuh dalam bergerilya mempertahankan kemerdekaan RI.


Karena seringnya mengudara Radio YBJ6 ini, Belanda mencium signal radio ini sehingga Belanda menyerang Ampalu, karena Ampalu juga tidak jauh dari Kota Payakumbuh yang sudah diduduki Belanda, YBJ6 dipindahkan ke tempat lain, yakni ke daerah Lintau.


Pemindahan dari Ampalu ke Lintau tidak dapat dilakukan dengan menggunakan kendaraan, tetapi dengan berjalan kaki. Tentu saja pekerjaan itu bukanlah pekerjaan yang ringan sebab pemancar ini peralatannya cukup berat.


Peranan radio saat-saat genting 1948-1949 terutama dalam masa Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) adalah sangat penting dan strategis. Tiga lembaga, PTT (Pos Telepon dan Telegraf), AURI dan RRI sangat berperan membuat eksistensi republik tetap ada di mata internasional meskipun oleh Belanda ditiadakan.


Selama masa agresi Belanda ke-2 sejak 19 Desember 1948 sd 8 Juli 1949, peranan radio terutama stasiun Radio Angkatan Udara Republik Indonesia sangat berperan dalam menjalin komunikasi dengan Jawa dan luar negeri serta beberapa daerah di Sumatera.


Komunikasi dilakukan dalam rangka konsolidasi yang dilakukan PDRI melalui stasiun radio yang sering juga disebut dengan istilah zender radio atau zender saja.


Bangkitkan Semangat


Melalui radio lah rakyat Indonesia mengetahui bahwa mereka masih memiliki kedaulatan di tengah upaya Belanda yang ingin kembali berkuasa di Indonesia. Melalui radio pulalah mereka menerima arahan dari para pemimpin bangsa dalam menentukan arah perjuangan yang mereka lakukan.


Bayangkan jika tidak ada radio saat itu, dalam artian radio hanya dimiliki oleh pihak Belanda. Rakyat akan mudah ditipu oleh Belanda sehingga akan mudah meruntuhkan moral tempur para pejuang kita. Dan jika moral telah runtuh, maka akan semakin mudah bagi Belanda untuk memenangkan peperangan.


Belajar dari sejarah pentingnya radio di masa lalu sebagai sarana menyebarkan propaganda dan mengobarkan semangat juang, pertanyaan saya terkait propaganda radikalisme yang marak saat ini adalah: Bagaimanakah cara menangkal propaganda radikalisme di era media sosial dan internet yang dimanfaatkan betul oleh kelompok radikal ?


S-E-L-E-S-A-I


Referensi :


http://rri.co.id/


https://nasional.kompas.com/read/2014/12/14/18551151/PDRI.dan.Tonggak.Revolusi


https://www.liputan6.com/news/read/2681804/cerita-suara-radio-yang-mengalahkan-agresi-militer-belanda


https://id-id.facebook.com/notes/saiful-guci/peranan-radio-dalam-rimba-belantara-limapuluh-kota-menegakkan-pdri/710431892308467/


https://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Radio_Republik_Indonesia


SUMBER: https://pixabay.com/id/photos/radio-tua-rasa-rindu-retro-musik-1594819/

Komentar

Tulis Komentar