Dirgahayu Republik Indonesia ke 74: Sebuah Refleksi

Other

by Rosyid Nurul Hakiim

Dirgahayu Republik Indonesia yang ke 74.

Rangkaian peristiwa telah membentuk Indonesia. Sebagian diantaranya menjadi titik penting pendewasaan negara yang melingkupi belasan ribu pulau ini. Proklamasi yang digagas oleh para founding father, reformasi, krisis moneter, konflik horizontal, dan lika-liku politik sudah dilalui. Namun, tantangan bangsa ini belum akan usai.

Seperti yang pernah diteorikan oleh Bennedict Anderson lewat bukunya Imagined Communities, bahwa sebuah bangsa atau negara itu terbentuk dari sebuah gagasan tentang kesatuan dan kesamaan. Indonesia terbentuk dari jutaan manusia dari berbagai suku dan latar belakang yang membayangkan tentang adanya satu negara. Mereka yang bahkan tidak mengenal saudara senegaranya dari pelosok lain namun dalam pemikirannya, mereka adalah bagian dari satu negara, Indonesia.

Karena pemikiran inilah yang kemudian melebur Jawa, Sunda, Batak, Madura, Banjar, Ambon, Minahasa, dan suku-suku lain untuk menjadi satu komunitas besar, Indonesia. Salah satu contoh nyata soal imagined communities ini dapat dilihat dari perhelatan olahraga dunia, Olimpiade. Dari beragam latar belakang, nasionalisme kita muncul untuk mendukung atlet dari Indonesia, yang bahkan kita sendiri tidak mengenalnya.

Sebagai sebuah negara yang ‘dibayangkan’ seperti yang disebutkan Anderson dalam bukunya, negara itu membutuhkan simbol-simbol yang menyatukannya. Diperlukan sebuah set identitas yang mampu diambil oleh jutaan manusia yang menjadi bagian dari negara itu. Seperti misalnya bendera, Bahasa, makanan, pakaian, dan lain-lain. Hal inilah yang membuktikan bahwa nasionalisme itu adalah sebuah proses sosial, atau socially constructed.

Yuval Noah Harari pernah menuliskan buku berjudul 21 Lesson for the 21st Century. Disana dia menyebutkan bahwa nasionalisme itu bukan sesuatu yang alami dari perilaku manusia. Memang, kita ini adalah makhluk sosial yang secara alami akan hidup berkelompok. Namun, hal tersebut hanya akan terjadi dalam kelompok kecil, dengan kesamaan yang lebih kental. Seperti suku atau bahkan keluarga besar. Menurut Yuval, kesetiaan jutaan orang pada satu set narasi soal negara itu adalah sesuatu yang baru dan muncul dengan upaya konstruksi sosial yang besar.

Oleh karena itu lah, nasionalisme kita hari ini harus terus menerus menghadapi tantangan dunia, yaitu globalisasi dan teknologi. Perpindahan orang, kaburnya batas-batas antar negara, dan media sosial yang menghubungkan miliaran orang di seluruh dunia akan terus memunculkan pertanyaan tentang nasionalisme.

Kontestasi soal identitas akan terus menerus terjadi. Tidak hanya pada konteks negara, namun juga pada lingkup yang lebih luas, dunia. Ketika batas-batas negara sudah mulai kabur, orang-orang justru berkumpul pada ikatan yang lebih kental, seperti agama atau kesukuan. Hal inilah yang kemudian memunculkan upaya pemisahan diri kelompok masyarakat yang lebih besar, yaitu negara. Seperti halnya etnis Albania di Kosovo yang berupaya memisahkan diri dengan Serbia, lalu ada etnis Patani yang secara budaya berbeda dengan Thailand pada umumnya, kemudian kita tentu masih ingat soal Rohingya.

Selain itu, bagaimana kita bisa menjelaskan, orang-orang yang berada di Indonesia, namun memiliki keinginan untuk menjadi bagian dari sebuah negara bentukan di luar sana? Imagined community semacam apa yang bisa menggantikan narasi Indonesia?

Membicarakan soal nasionalisme dan juga tantangannya, memang tidak pernah cukup hanya dengan secuil tulisan ini. Namun, untuk menjaga keutuhan Indonesia, kita harus mulai berpikir soal sikap kita terhadap narasi-narasi selain nasionalisme. Apakah kita harus melawannya dan menghapusnya? Atau justru ‘berenang’ bersamanya?

Soal nasionalisme adalah juga soal cinta terhadap negeri ini. Oleh karena itu, apakah cinta tersebut harus dengan simbol-simbol atau kerja nyata yang dapat membuat perubahan positif pada negeri ini. Apakah cinta itu wajib ditunjukkan dengan merah putih di jalan, di rumah, atau di gapura? Atau justru kita harus menghargai ekspresi atau cara mencintai lain dari negeri ini yang tidak dengan simbol?

Yuk, kita obrolkan di Ruangobrol. Gunakan fasiltas Chat di sisi kanan bawah website ini untuk berdiskusi dengan kami.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Komentar

Tulis Komentar