Ahmadiyah Indonesia Ajak Masyarakat Luas Jadi Pendonor Mata

Other

by Eka Setiawan

Komunitas Muslim Ahmadiyah Indonesia (KMAI) mengaku sejauh ini masih mendapat berbagai penolakan di sejumlah daerah di Indonesia, baik Jawa maupun luar Jawa. Selain mendapatkan persekusi hingga pengusiran, mereka juga merasa disudutkan oleh berbagai peraturan daerah.

Hal itu diungkapkan Juru Bicara Komunitas Muslim Ahmadiyah Indonesia (KMAI), Yendra Budiana, ketika ditemui di Kota Semarang, Sabtu (10/8/2019) sore.

Penyebab mendapat perlakuan buruk itu beragam, tak terkecuali soal Surat Keputusan Bersama (SKB). Ini merujuk pada Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota dan atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat.

Namun demikian, pihaknya, kata Yendra, tidak akan menanggapi dengan kekerasan. Ajakan untuk mengobrol, berkomunikasi dengan baik, saling memahami dan menghargai perbedaan dibutuhkan untuk menjaga kerukunan di Indonesia.

“Meskipun di beberapa daerah ada penolakan, kalau di luar Jawa misalnya di Riau dan Lombok, tapi ada juga di daerah lain yang bisa menerima kami,” ungkap Yendra.

Meski berada di tengah tekanan, sebut Yendra, tak menghalangi komunitasnya untuk melakukan berbagai kegiatan, bahkan kegiatan sosial.

Salah satunya adalah ajakan kepada masyarakat luas untuk jadi pendonor mata. KMAI mengklaim donor mata sudah jadi gaya hidup. Bahkan menjadi komunitas terbesar yang bersedia menjadi pendonor mata.

“Anggota kami sekira 50ribu orang dan semuanya tentu bersedia menjadi pendonor mata,” lanjutnya.

Yendra mengemukakan, kebutuhan donor mata di Indonesia mencapai 170ribu orang. Jumlah itu jika dibanding dengan jumlah pendonor yang ada, tentunya masih kurang.

Jumlah pendonor mata di Indonesia, sebut Yendra, saat ini yang teregister ada sekira 15ribu orang.

Teregister ini artinya sudah memenuhi beberapa syarat, salah satunya adalah persetujuan dari ahli waris. Sebab, donor itu nantinya akan dilakukan ketika si pendonor meninggal dunia. Tak lebih dari 6 jam setelah kematian, kornea mata harus diambil oleh ahlinya.

Untuk mendaftar, sebut Yendra, pendonor bisa mendatangi Bank Mata Indonesia yang ada di tiap ibu kota provinsi di Indonesia ataupun mendatangi perwakilan Ahmadiyah di seluruh Indonesia yang diberi nama Keluarga Donor Mata Indonesia (KDMI).

Soal donor mata itu, Yendra mengatakan ada persoalan lain yang tak kalah penting. Pertama adalah soal tenaga eksisi alias tenaga pengambil kornea mata si pendonor, masih sedikit jumlahnya.

Ini menjadi persoalan tersendiri ketika lokasi si pendonor mata meninggal dunia itu cukup jauh dari jangkauan petugas eksisi, sementara waktu maksimal kornea mata diambil hanya 6 jam setelah kematian.

Selain itu alat khusus penyimpan kornea mata dari si pendonor setelah diambil paskakematian juga harganya mahal, sekira Rp2juta per tabung.

“Kami berharap Menteri Kesehatan (Nina F Moeloek) concern terhadap hal ini, apalagi beliau juga dokter spesialis mata,” lanjutnya.

Yendra yang saat itu ditemani Koordinator Komunitas Clean The City, Fazal Ahmad –yang juga seorang Ahmadi, anggota Ahmadiyah- menjelaskan apa yang dilakukan pihaknya semata-mata untuk membantu sesama.

“Prinsipnya, sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi sesamanya, itu saja. Jadi kalu mati dan mata kita hanya dimakan cacing sangat disayangkan sekali,” sebutnya.

Pihaknya tentu tak membedakan, apakah nantinya penerima donor mata dari kelompoknya berasal dari orang yang berbeda keyakinan atau tidak. Bagi Ahmadiyah, sebut Yendra, semua itu tak jadi masalah.

“Ini murni gerakan sosial, memberi kontribusi ke orang lain itu esensial orang beragama,” tandasnya.

 

FOTO RUANGOBROL.ID/EKA SETIAWAN

Juru Bicara Komunitas Muslim Ahmadiyah Indonesia (KMAI) Yendra Budiana ketika ditemui di Kota Semarang, Sabtu (10/8/2019) sore.

Komentar

Tulis Komentar