Hingga saat ini, pemerintah Indonesia melalui Kementrian Luar Negeri (Kemenlu), Kementerian Pertahanan (Kemhan) dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) termasuk beberapa jajaran pemerintah masih terus menggodok keputusan untuk memulangkan para simpatisan ISIS yang tersandera di Suriah pasca kekalahan kelompok ini oleh Pasukan Demokratik Suriah (SDF) di Kota Baghouz, yang disebut sebagai benteng pertahanan terakhir ISIS di Suriah. Pemerintah tentu tidak ingin mengambil resiko, mengingat status mereka sebagai mantan anggota kelompok teror.
Kemunculan para tahanan asal Indonesia di Suriah yang umumnya mantan simpatisan ISIS ini memang sempat menghebohkan publik pasca rilis Majalah Tempo edisi 15 Juni 2019 yang mengungkap adanya ratusan WNI bekas pendukung ISIS terkatung-katung di Suriah. Kepada awak media Tempo, mereka meminta pemerintah Indonesia agar sudi dan bersedia memulangkan mereka.
Hal ini pun segera mendapat respon dari pemerintah Indonesia, salah satunya dari Menteri Pertahanan (Menhan), Ryamizard. Ia mengatakan bahwa pemerintah siap memulangkan para pendukung ISIS ini atas dasar kemanusiaan. “Kita ini bangsa yang berperikemanusiaan tapi kalau datang langsung ngebom sana sini, rusak, gak boleh. Janji dulu gak boleh berbuat macam-macam,” ucapnya sebagaimana dikutip dari Tempo (9/7/2019).
Publik Indonesia sendiri memiliki beragam reaksi, namun umumnya mereka menolak para mantan simpatisan ini dipulangkan. Takut mereka malah akan membuat rusuh di negara sendiri, membuat huru-hara, ngebom sana-sini dan jihadnya jadi pindah ke Indonesia.
Tapi, apa iya sih semudah itu melakukan aksi jihad. Apalagi kata Menhan, “Langsung ngebom sana-sini”? Tentu tidak, Sergio.
Dipikirnya bikin bom, buat onar, dan seabrek sentimen itu bakal semudah orang beranak pinak layaknya kucing. Jihad juga butuh modal. Bikin bom jika tidak ditopang dana yang kuat juga nggak bakal terealisasi. Untuk makan saja susah, apalagi buat beli senjata. Memangnya mereka mau jihad hanya pake gunting atau bambu runcing melawan bedil, kecuali orang idiot saja yang berani nekat seperti itu. Menjadi teroris juga tidak gampang, ada proses panjang. Nggak semua serba ujug-ujug.
Sebab pada prinsipnya, gerakan apapun nama, maksud dan tujuannya, tentu tidak bisa lepas dari beban biaya. Apalagi mereka yang hanya untuk makan saja susah. Niat jihadnya sih memang lillahi ta’ala, tapi untuk operasionalnya tetap saja butuh modal biaya.
Tentu masih hangat diingatan kita, saat Para Wijayanto berhasil ditangkap oleh pihak kepolisian akhir Juni 2019 lalu. Sebagai pimpinan Jama’ah Islamiyah yang sudah cukup berpengalaman dan malang melintang dalam dunia teror di Indonesia saja masih belum bisa berdikari. Ia menceritakan bagaimana organisasi yang dipimpinnya harus berjuang menghidupi diri dengan berkebun dan membangun ladang kelapa sawit.
Ngomong-ngomong soal biaya untuk berjihad, terkadang tak selalunya sumber dana berasal dari hasil iuran antar anggota, zakat atau infaq dan shodaqoh.
Mungkin kasus Para Wijayanto soal pendanaan untuk organisasinya hanyalah salah satu cara bagaimana mereka bertahan hidup dengan jalan yang halal. Namun demikian, bukan berarti lantas tidak ada jalan haram. Jangan salah sangka, tidak selalunya sesuatu yang diperjuangkan untuk agama lantas jalan untuk memperolehnya juga sesuai aturan agama.
Mungkin kita masih ingat bagaimana Imam Samudera dahulu harus membiaya semangat jihadnya dengan melakukan aksi perampokan tokoh emas di Banten sebelum serangan bom Bali pada 2002. Atau seperti kelompok pimpinan Fadli Sadama yang secara terang-terangan merampok bank di Medan di saat orang sedang sibuk-sibuknya kerja.
Tak jauh berbeda juga dengan kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) pimpinan Santoso kala itu. Di balik semangatnya melawan thoghut, pun tak luput dari konsumsi dana haram. Diketahui, kelompok ini telah beberapa kali melakukan aksi pencurian motor (curanmor) milik warga. Uang hasil penjualan motor curian tersebut kemudian disisihkan untuk biaya operasional jihad, sisanya untuk kebutuhan biaya hidup.
Oleh karenanya, tidak ada jihad yang bersifat instan. Semua ada aturan mainnya, ada perhitungannya. SDM saja tidak cukup, jika tidak didukung dana operasional. Ibarat pepatah mengatakan, “Kullu syai’in bila fulusin, ghoiru mulusin”. Artinya, segala sesuatu tak akan pernah berjalan mulus kalau tidak ada fulus.
Jadi, melalui tulisan ini jangan ada lagi sentimen sedikit-sedikit ngebom, sedikit-sedikit jihad, sedikit-sedikit teroris. Masak, mau ngebom, mau jihad, mau jadi teroris kok semua serba sedikit-sedikit?
Link gambar: https://monitoring.ifiadvisory.com/en/pro-al-qaeda-fundraising-campaign-for-bullets-and-rockets/