Memasuki pertengahan 2008, serpihan JI kembali melakukan pertemuan penting di Surabaya yang dihadiri oleh sejumlah petinggi jama’ah. Pertemuan ini sendiri dilakukan secara mendadak untuk merespon adanya penangkapan terhadap Abu Husna, selaku Ketua Bidang Tarbiyah atau Pendidikan Jamaah Islamiyah kala itu.
Abu Husna sendiri ditangkap tahun 2006 oleh petugas imigrasi karena hendak melarikan diri ke Malaysia. Baik Para Wijayanto maupun Abu Husna, keduanya tercatat sebagai alumni pelatihan militer di Mindanao, Filipina.
Dengan adanya penangkapan tersebut, muncul sikap kekhawatiran bahwa hal ini akan berdampak pada keberlangsungan jamaah. Maka pada hasil keputusan rapat, para petinggi JI memutuskan untuk memberikan kepercayaan kepada Para Wijayanto sebagai amir Jamaah Islamiyah.
Penunjukan PW sebagai amir JI juga menjadi awal babak baru menuju era keterbukaan bagi organisasi ini.
Ada beberapa asumsi yang muncul atas penunjukan Para Wijayanto sebagai amir JI. Di kalangan jama’ah, ia dianggap mewakili semangat tokoh muda. Dalam beberapa penunjukan sejumlah amir sebelumnya, umumnya lebih didominasi oleh kalangan sepuh dan veteran Afghanistan. Dan penunjukan ini, diharapkan bisa memberikan warna baru di tubuh JI.
Selain statusnya sebagai alumni Filipina, Para Wijayanto juga disebut-sebut memiliki keterampilan intelejen yang baik. Keterampilan ini diakui diperolehnya ketika mengikuti pelatihan di Filipina.
Pasca penunjukan PW, JI mengalami perubahan signifikan pada beberapa sektor. Terutama yang paling kentara adalah pada bidang dakwah dan pendidikan. Selama ini, dakwah-dakwah JI terbilang cukup tertutup. Namun semenjak adanya perubahan struktur, pola eksklusifitas mulai bergeser menjadi lebih terbuka. Jika sebelumnya dakwah hanya untuk konsumsi kalangan tertentu, kini kelompok ini mulai menyentuh masyarakat kelas bawah. Aktivitas dakwah mereka mulai banyak dijumpai di berbagai masjid dan bersifat terbuka.
Sementara dalam bidang tarbiyah atau pendidikan, JI mulai terbuka dan menerima pendidikan-pendidikan berbau sekuler. Di kalangan pondok pesantren, organisasi ini bahkan memberikan pelayanan kepada para santrinya yang hendak mengikuti program ujian kesetaraan (Paket B/C). Sesuatu yang tadinya mereka haramkan.
Sementara, JI juga menyediakan lembaga pendidikan non-pesantren untuk tingkat SD hingga SMA melalui program Islam Terpadu (IT). Bahkan tak sedikit para kader JI yang mengambil pendidikan hingga tingkat perguruan tinggi.
Mengungkap fakta baru
Petualangan Para Wijayanto akhirnya terhenti, setelah 16 tahun menjalani hidup sebagai DPO dalam beberapa kasus terorisme yang melibatkan dirinya.
Para Wijayanto ditangkap bersama istrinya, Masyita Yasmin, pada Sabtu (29/5/2019) pukul 6.12 WIB di Hotel Adaya, Jalan Raya Kranggan No. 19-20, RT. 03/RW. 09, Jatiraden, Kecamatan Jatisampurna, Kota Bekasi, Jawa Barat lalu.
Tertangkapnya Para Wijayanto merupakan hasil pengembangan dari penangkapan sebelumnya terhadap Agus Suparnoto alias Kresna pada Mei 2019 lalu di Kecamatan Manyar, Gresik, Jawa Timur. Agus Supranoto sendiri merupakan anggota jaringan JI kelompok Semarang pimpinan Joko Priono. Agus dipercaya sebagai koordinator pengiriman dan pembiayaan anggota JI ke Suriah.
Sejak terjadi konflik tahun 2011, JI cukup aktif mengirimkan anggotanya ke Suriah baik melalui lembaga kemanusian seperti HASI (Hilal Ahmar Society) maupun pemberangkatan khusus. Biasanya, dalam pemberangkatan khusus ini melalui visa umroh atau wisata. Tujuannya, untuk mengelabui petugas imigrasi.
Terkadang JI juga menanggung biaya perjalanan ke Suriah bagi kader-kadernya. Bahkan dalam catatan kepolisian, kelompok ini sudah 7 kali mengirimkan anggotanya ke Suriah untuk bergabung dengan kelompok jihad lokal, Jabhah Al Nusrah.
Sumber pendanaan dalam rangka pemberangkatan ke Suriah bisa berasal dari anggota sendiri, namun juga lewat donasi dari jamaah. Selain itu, sumber pendanaan JI juga berasal dari hasil usaha mandiri seperti pengelolahan perkebunan sawit sebagaima terungkap pasca penangkapan PW oleh kepolisian.
Sebagai organisasi yang cukup lama, JI tentu berfikir bahwa financial support jama’ah menjadi persoalan penting. Selain untuk aktivitas anggota, juga untuk keberlangsungan kelompok. Dan dengan penangkapan Para Wijayanto sebagai amir JI, berhasil menjawab berbagai spekulasi atas keberadaan gerakan teroris di Indonesia selama ini.
Tentu, dengan adanya penangkapan ini serta pengungkapan jaringan JI oleh aparat, semoga bisa memberikan harapan baru dalam penegakan hukum secara maksimal terhadap berbagai kelompok yang bisa berpotensi mengganggu stabilitas keamanan nasional.
Dan sebagai masyarakat, tentu kita tidak ingin tragedi di Bali pada 2002 lalu maupun berbagai aksi teror lain di berbagai pelosok negeri terjadi kembali. Bahkan hingga kini, isu ancaman keamanan oleh kelompok ISIS pun belum sepenuhnya teratasi. Sebab narasi perlawanan terhadap negara dan NKRI tidak akan pernah berhenti, meski para petingginya kini telah mendekam di bui. Wallahu’alam…