Hari Anak Nasional Ingatkan Peran Keluarga: Pencegahan Ekstremisme Dimulai Dari Orang Tua

Other

by Rosyid Nurul Hakiim

Hari Anak Nasional tahun 2019 ini mengingatkan tentang pentingnya peran keluarga dalam perkembangan anak. Hal ini justru mengingatkan saya pada sebuah kejadian yang mungkin luput dari pantauan kita. Pada 9 Maret silam di Lampung, pihak kepolisian mengamankan RS, seorang remaja berusia 19 tahun yang diduga merencanakan akan meledakan bom di markas Polda Lampung.

Bukan soal indikasi kegiatan terorisme dalam penangkapan itu yang menarik perhatian saya. Akan tetapi soal fakta bahwa orang tua dari remaja itu sendirilah yang melaporkan anaknya ke pihak kepolisian. Mereka curiga dengan gerak gerik aneh dari anaknya. Tidak ingin anaknya terjebak lebih jauh dalam kelompok ekstremis, sang orang tua pun melapor pada polisi.

Ekstremisme akhir-akhir ini memang lebih banyak melibatkan anak-anak muda. Digitalisasi informasi memudahkan propaganda narasi-narasi ekstrem dikonsumsi oleh pada digital native. Oleh karena itu, sebagai unit terkecil dalam komunitas masyarakat, keluarga memang menjadi kunci penting dalam upaya pencegahan. Terutama peran orang tua dalam mengamati perkembangan anak.

Mendiskusikan soal peran orang tua dalam pencegahan ekstremisme, kita bisa mencermati sebuah penelitian menarik yang dilakukan di Belanda. Elga Sikkens (kandidat PhD dari Universitas Utrecht), Marion van San (peneliti senior dari Institute Riset Risbo, Universitas Erasmus Rotterdam), Stijn Sieckelinck (asisten professor di Universitas Utrecht), dan Micha de Winter (Profesor bidang Pendidikan di Universitas Utrecht) melalukan penelitian kualitatif dengan mewawancarai mantan ekstremis (dari berbagai kelompok, baik dari kelompok agama, pandangan politik sayap kanan, environmentalis, dll) untuk mengetahui peran orang tua dalam proses radikalisasi dan de-radikalisasi.

Mereka melakukan wawancara pada 11 mantan ekstremis, 8 orang tua, dan 3 saudara. Para mantan ekstremis ini dahulu mulai bersentuhan dengan ideologi ekstrimis pada kisaran umur 12 sampai 16 tahun dan mulai benar-benar masuk ke dalam kelompok pada kisaran umur 15 sampai 27 tahun.

Penelitian yang berjudul Parental Influence on Radicalization and De-radicalization according to the Lived Experienced of Former Extremists and Their Families ini ternyata menghasilkan temuan-temuan yang menarik. Tidak hanya itu saja, temuan tersebut bisa sangat relevan untuk dibahas dalam konteks Indonesia.

Proses radikalisasi yang dialami oleh para mantan ekstremis ini, hampir semua karena peran tidak langsung dari orang tua. Beberapa responden menjelaskan bahwa pada masa-masa awal ideologi ekstrem itu masuk, mereka merasa tidak bisa membicarakan atau tidak bisa bicara kepada orang tua mereka.

Alasannya beragam, mulai dari orang tua yang enggan untuk berbicara soal politik dan ideologi-ideologi, tidak memiliki pengetahuan soal ragam aliran politik dan ideologi, sampai yang justru berdebat keras soal pandangan politik dan ideologi. Ketiga hal ini yang kemudian menjauhkan anak-anak muda tersebut dari orang tua. Dari sisi orang tua sendiri, mereka kehilangan momentum untuk memonitor perkembangan anaknya sehingga tidak bisa membaca tanda-tanda yang mengarahkan pada ekstremisme.

Penelitian ini menyimpulkan bahwa orang tua tidak bisa melakukan upaya pencegahan terhadap masuknya paham ekstremisme karena tidak tahu harus berbuat apa untuk anak-anaknya atau bahkan tidak hadir ketika sang anak membutuhkan. Lebih lanjut, dijelaskan bahwa dari rangkaian wawancara yang dilakukan, orang tua lebih sering tidak mengenali gejala-gejala anak-anaknya yang sudah mulai mengadopsi paham ekstrem. Mereka juga tidak tahu jika ada insitusi atau kelompok masyarakat yang mampu memberikan bantuan terhadap kondisi anaknya. Sehingga mereka tidak bisa melakukan apa-apa.

Menakar kesimpulan dari penelitian ini, kondisi yang serupa sangat mungkin terjadi pada keluarga di Indonesia. Beruntung pada kejadian di Lampung, orang tua dari remaja yang ditangkap mampu menyadari gerak-gerik aneh dari anaknya. Namun, akan lebih baik jika orang tua tahu lebih awal, sehingga sang anak belum terlalu larut dalam pemahamannya dan bahkan mampu membuat bom.

Selain itu, keberadaan dari institusi atau kelompok masyarakat yang mampu melakukan pendampingan sangat penting untuk dikomunikasikan pada keluarga di Indonesia. Ruangobrol melalui fasilitas Chat yang berada di sudut kanan bawah website, adalah salah satu upaya yang kami lakukan untuk membantu keluarga dengan masalah serupa. Bersama dengan Ruangobrol, terdapat para ahli yang dapat diajak berdiskusi dan membantu.

Selamat Hari Anak Nasional.

 

 

 

Komentar

Tulis Komentar