Fenomena Para “Perindu Keajaiban” (1)

Other

by Arif Budi Setyawan

Anda pasti familiar dengan berita-berita tentang korban penipuan berkedok penggandaan uang di tayangan-tayangan acara liputan kriminal di TV-TV. Salah satu yang paling heboh adalah kasus Dimas Kanjeng yang sampai memiliki banyak anak buah dan nilai penipuannya sangat besar. Atau berita tentang korban investasi bodong yang konon menjanjikan keuntungan besar dalam waktu singkat.
Anda juga tentu masih ingat di tahun 2009 Indonesia dihebohkan dengan fenomena Ponari, si dukun cilik yang mengobati pasien hanya dengan mencelupkan ‘batu sakti’ atau ‘batu ajaib’ ke dalam air yang dibawa pasien untuk diminumkan. Tiba-tiba Ponari menjadi kaya raya dan kampungnya mendadak terkenal ke seantero nusantara gara-gara sebuah ‘batu’.
Dimas Kanjeng itu bukanlah pengusaha besar seperti Chairul Tanjung atau Hari Tanoe, yang sangat layak jika banyak orang yang membeli saham perusahaannya. Dan Ponari bukanlah seorang dokter spesialis dengan gelar akademik Doktor atau S3. Tapi mengapa Dimas Kanjeng dan Ponari bisa laku keras ?
Pertanyaan mengapa Dimas Kanjeng dan Ponari bisa laku keras itu kira-kira sama dengan pertanyaan mengapa aliran sesat dan menyimpang laku di Indonesia ?
Dalam kondisi zaman penuh fitnah seperti saat ini, di mana orang susah mencari pekerjaan, korupsi dan kejahatan merajalela, para pemimpin yang lupa rakyatnya, dekadensi moral yang semakin dianggap biasa, ketidakadilan di mana-mana, dll, itu semua bisa meruntuhkan akal sehat orang yang dirundung masalah yang berkepanjangan.
Biar pun tadinya ia cerdik cendekia pun ketika ia tak kunjung menemukan solusi dari permasalahan yang ia hadapi, atau ingin jalan pintas untuk keluar dari persoalan yang dihadapinya ia akan cenderung mudah untuk menjadi ‘perindu keajaiban’. Sehingga ketika ada cerita orang yang sukses dengan cara yang ‘ajaib’ membuatnya ingin menempuh cara yang sama. Lihatlah pada kasus fenomena Ponari, pasiennya itu banyak yang dari kalangan yang well educated, banyak yang sarjana.
Pada kasus Dimas Kanjeng, beda lagi. Selain orang-orang yang ingin keluar dari permasalahan ekonomi, juga ada yang sebenarnya sudah cukup tapi masih serakah. Entah secara persentase mana yang lebih banyak, antara yang punya masalah ekonomi dan yang serakah. Tidak pernah ada yang melakukan survei pada korban-korban Dimas Kanjeng.
Orang serakah yang menempuh jalan pintas yang tidak masuk akal adalah orang yang super serakah. Orang yang maunya enak terus tanpa bersusah payah sampai percaya dengan hal tak masuk akal itu enaknya kita sebut apa ? Jawab dalam hati saja ya, nanti takutnya dianggap kekerasan verbal lagi. Hehehe.
Kembali lagi pada kondisi psikologis orang yang dihimpit masalah berkepanjangan yang kemudian rentan untuk berfikir di luar rasional. Mungkin Anda sudah mengetahui bahwa orang yang frustasi itu bisa menjadi sangat nekat dan mudah terprovokasi, mudah tertipu, mudah percaya pada janji-janji manis.
Itulah mengapa dalam politik, trik untuk memperoleh dukungan dari orang-orang yang susah itu cenderung lebih mudah daripada memperoleh dukungan dari kalangan yang secara ekonomi dan pendidikan cukup baik. Orang-orang susah itu lebih mudah pecaya pada janji para politikus.
Para penjajah dulu pun sengaja memelihara kebodohan rakyat Indonesia dengan berbagai cara agar mudah dikibulin, mudah percaya dengan omongan mereka. Di satu sisi dibikin susah dan di sisi lain dibikin tetap bodoh. Maka langgenglah penjajahan mereka.
Orang yang lama hidup susah dan bodoh memang selalu diperebutkan oleh banyak pihak yang ingin memperoleh keuntungan dari keadaan mereka itu. Mulai dari para penipu macam Dimas Kanjeng, para penjual cerita mimpi berupa tayangan drama dan sinetron gaje, sampai kelompok radikal macam ISIS.
Kelompok seperti ISIS pun sangat sadar akan potensi dari masyarakat yang seperti itu untuk menjadi pengikut mereka. Dan mereka melihat sebuah peluang yang jarang diperhatikan oleh para ‘kreator budaya’ (pemegang kekuatan dan kekuasaaan) yang berorientasi pada kemakmuran dunia dan status sosial.

Komentar

Tulis Komentar