Sebagaimana lumrahya sebuah organisasi, ia terbentuk melalui berbagai bidang struktur yang saling menguatkan satu sama lain. Dan salah satu komponen kuat dalam struktur, yakni adanya SDM (Sumber Daya Manusia) atau human resource yang diperoleh melalui proses rekrutmen dan penyaringan. Ini sebagai upaya untuk menentukan apakah individu tertentu layak menjadi bagian dari organisasi atau tidak sama sekali.
Hal demikian juga agaknya berlaku pada kelompok jaringan teror. Ada proses dan mekanisme yang sama diterapkan dalam menjaring anggota baru melalui sebuah seleksi yang ketat.
Lewat tulisan kali ini, penulis mencoba mengulas bagaimana pola perekrutan dalam jaringan teror yang umum terjadi di Indonesia melalui berbagai sumber. Dan tentunya, tulisan seperti ini pasti akan menciptakan perdebatan dan argumentasi yang berseberangan.
Paling tidak, ada dua jenis pola perekrutan, yakni melalui metode lama (offline) dan metode baru (online).
Metode lama
Pertama, pondok pesantren atau lembaga pendidikan. Salah satu landasan kenapa pesantren menjadi unsur penting dalam proses perekrutan, sebab lembaga-lembaga tersebut merupakan salah satu media penyampai pesan atau doktrinasi terhadap individu-individu yang rentan terhadap perilaku anarkis tersebut. Bahkan terdapat beberapa pesantren yang dijadikan sebagai basis pergerakan kelompok jihad atau memobilisasi kekuatan.
Misal, di Solo para pelarian anggota DI/TII menjadikan Pondok Pesantren Al Mukmin di Dukuh Ngruki, Ds. Cemani, Kec. Grogol, Kab. Sukoharjo sebagai tempat persembunyian. Al Mukmin dapat menjadi basis pelarian para anggota DI/TII tentu tidak terlepas dari peranan tokoh dan pemimpin pondok tersebut, yaitu Abdullah Sungkar dan ABB.
Bagi kalangan jihadis, pesantren memiliki sisi vital yang tidak dapat dipisahkan dalam konteks gerakan jihad di nusantara. Perannya bukan sebatas menjadi basis penanaman akidah dan doktrin jihad, tetapi juga menjadi basis perekrutan jama’ah terutama dari kalangan santri.
Para santri yang dianggap cukup berpotensi akan direkrut untuk ikut turut andil dalam gerakan dakwah dan jihad di bawah sumpah bai’at. Konflik di Afghanistan dan Mindanao, Filipina, menjadi acuan penting bagaimana pondok pesantren berperan ganda, yakni dengan mengirimkan para alumninya dalam kancah jihad global. Bahkan dalam konflik komunal di Ambon dan Poso, pondok pesantren juga menjadi wadah untuk memobilisasi massa sebagai bagian dari gerakan jihad.
Kedua, pengajian atau taklim/halaqah. Gerakan jihad tidak saja bertumpu pada dinamika pesantren semata. Proses perekrutan juga bisa dimulai melalui kegiatan-kegiatan keagamaan semisal taklim atau halaqah di masjid-masjid atau dari rumah ke rumah yang telah diakuisisi oleh kelompok jihad ini. Sebagaimana di pondok pesantren, proses perekrutan melalui taklim atau halaqah juga melalui proses seleksi.
Mereka yang terpilih dan lolos dalam uji seleksi, akan dilibatkan dalam halaqah yang sifatnya lebih tertutup (ekslusif).
Hingga pada akhirnya, intruksi adanya sebuah aksi akan disampikan ketika individu tersebut dianggap siap untuk melakukan aksi.
Mencuatnya kasus penembakan anggota polisi di pos penjagaan Bank BCA Palu pada Mei 2011 lalu dimana peristiwa tersebut juga berhasil mengangkat nama Santoso sebagai tokoh jihad baru di Poso, juga tidak lepas dari proses perekrutan melalui media taklim atau halaqah yang sifatnya eksklusif.
Ketiga, MLM (Multi Level Marketing). Dalam konsep bisnis MLM, terdapat rumusan populer. Member get member, yakni setiap anggota punya kewajiban untuk merekrut anggota baru. Dalam gerakan jihad, anggota memiliki peran dan kewajiban untuk merekrut anggota baru yang dianggap berpotensi untuk mendukung keberhasilan gerakan ini.
Tidak ada batasan dalam proses perekrutan anggota baru. Calon anggota bisa berangkat dari berbagai latar belakang dan status sosial, seperti keluarga, kerabat, teman, atau bahkan individu yang tidak mereka kenal sebelumnya.
Keempat, pernikahan atau perkawinan. Salah satu cara organisasi agar dapat survive di kelompok sosial, yakni dengan merekrut anggota baru. Demikian pula dalam gerakan jihad. Salah satu cara pada jaringan teror ini dalam melakukan perekrutan, yakni melalui hubungan perkawinan.
Perkawinan dianggap sebagai media alternatif bagi kalangan jihadis untuk bisa berbaur dalam populasi masyarakat secara luas. Melalui proses ini pula, mereka bisa menjaga tradisi jihadisme dalam lingkungan keluarga.
Kelima, hubungan relasi atau kekerabatan. Salah satu faktor gerakan ini bisa bertahan dalam tekanan perpecahan kelompok, yakni adanya hubungan relasi atau kekerabatan (family kindship) antar individu yang terlibat dalam jaringan teror.
Pola rekrutmen dengan memanfaatkan hubungan kerabat menjadi salah satu kunci bagaimana kelompok ini melakukan regenerasi. Keterlibatan Amrozi dalam kasus bom Bali 2002 menjadi indikasi tentang bagaimana peran keluarga memiliki kontribusi yang cukup besar.
Amrozi yang hanya orang awam dan tidak pernah memiliki pengalaman dalam medan jihad maupun kemampuan militer, namun melalui peran Ali Ghufron alias Mukhlas sebagai anggota keluarga membuatnya terlibat dalam aksi teror. Pun beberapa kasus lain, dimana proses radikalisasi berimplikasi pada kalangan perempuan melalui peran para suami.
Gambar ilustrasi: https://konsultasisyariah.com/25959-apa-itu-baiat.html