Tanggapan dari dua orang dari kubu Jihad tersebut dijawab oleh kubu Dakwah sebagai berikut:
Kami sudah berusaha menyusun kalimat yang paling santun dalam mengoreksi. Kalimat itu jangan dipotong sebelum titik, tapi baca dengan lengkap. [Prihatin dengan merebaknya semangat jihad di kalangan muda tapi mengabaikan pertimbangan hikmah sehingga madharatnya lebih menonjol dibanding manfaatnya]. Sekiranya kalimat itu hanya begini: [Prihatin dengan merebaknya semangat jihad], maka kalimat itu bermakna menggembosi jihad. Tapi kalimatnya menyambung, yang titik tekannya pada aspek hikmah. Hikmah kurang lebih maknanya adalah melakukan kebajikan dengan standar kebijakan dengan ukuran yang pas, tidak berlebihan atau berkurangan.
Jihad dalam konteks Indonesia hendaklah berkait berkelindan dengan dakwah. Jangan sampai jihad memiliki logika sendiri, sementara dakwah juga punya logika sendiri.
Antum bisa belajar ketika terjadi infijar di Jakarta yang menyebabkan beberapa nyawa muslim ikut menjadi korban. Bayangkan antum dalam posisi sebagai da’i yang harus mendukung jihad di depan masyarakat awam. Dengan dalil ayat atau hadits mana sang da’i bisa membela antum di hadapan publik? Apakah sudah sampai kondisi yang demikian darurat sehingga nyawa muslim sudah tidak perlu dipertimbangkan lagi? Sebagaimana dalam kasus jika musuh ber-tatarrus dengan muslim (menjadikan muslim sebagai tameng kaum kafir dari serangan mujahidin). Dalam kondisi seperti ini, jika pasukan Islam tidak menyerang musuh dengan resiko terbunuhnya muslim, musuh-musuh itu justru akan mengalahkan umat Islam yang madharatnya akan lebih besar. Dalam situasi begini, tertumpahnya darah muslim dibolehkan, dengan pertimbangan akhaffu dhararain.
Pertanyaan yang perlu antum jawab dengan ilmu yang jujur; apakah melawan AS atau Barat di Indonesia tidak bisa dilakukan kecuali dengan menumpahkan darah muslim? Artinya, tak ada cara lain kecuali dengan berdampak hilangnya nyawa muslim? Kalau jawabannya: ya, berarti sudah bisa masuk dalam ranah hukum darurat, atau dalam teori akhaffu dhararain. Tapi jika masih ada cara lain, semisal antum menjadi sniper yang pasti korbannya terukur, pake racun, modus tabrakan atau cara yang lain, maka tertumpahnya darah muslim tidak bisa masuk dalam hukum darurat.
Ini artinya antum egois, tidak mau mempertimbangkan bagaimana kesulitan para ustadz dan da’i untuk membela antum. Antum asyik hidup dengan logika sendiri, seolah berada di planet lain. Ketika para da’i dan ustadz tidak membela antum, antum sakit hati. Ketika kami menyatakan itu bukan jihad yang dibimbing hikmah, antum juga marah.
Ketika Rasulullah saw dimintai ijin oleh seorang sahabat untuk membunuh sang munafiq – Abdullah bin Ubay – Rasulullah saw menolak, dengan jawaban yang sangat terkenal: Nanti bagaimana jika masyarakat mengatakan bahwa Muhammad membunuh sahabat dekatnya sendiri.
Akhi mujahid, nahnu nuhibbukum fillah. Tak ada niatan sedikitpun untuk menggembosi jihad antum, tapi ingin mengarahkan agar jihad antum bisa seirama dengan kegiatan dakwah.
Jawaban Rasulullah saw itu bermakna bahwa Rasulullah saw menggunakan pertimbangan dakwah, lebih tepatnya opini masyarakat. Secara lahir, Abdullah bin Ubay adalah muslim. Masyarakat tidak tahu bahwa ia musuh besar Islam. Ketika masyarakat mendapati orang yang di mata mereka muslim dan dekat dengan Rasulullah saw, lalu yang merekomendasikan membunuh juga Rasulullah saw, maka secara opini akan merugikan dakwah Islam. Itu yang kami maksud dengan madharat. Yakni madharat dakwah.
Jika ini dibiarkan, umat Islam Indonesia justru akan phobi terhadap istilah jihad, karena jihad di benak mereka korbannya pasti orang kafir. Lalu bagaimana ini, kok ada jihad yang korbannya muslim pada saat masih dimungkinkan memilih korban kafir saja? Jangan salah, masyarakat kita juga kritis.
Kami sarankan antum lebih banyak membaca tema hikmah, agar dakwah dan jihad antum lebih berhasil. Bukankah kita punya obsesi sama, kemenangan Islam?
Akhi mujahid. Rencanakan jihad antum untuk MENANG, bukan untuk MATI. Jika antum hanya merencanakan kematian, berarti antum menyiapkan kekalahan. Semua mujahid pasti merancang strategi sejitu mungkin untuk menang, bukan merancang strategi seheboh mungkin untuk mati.
Obsesi mati fi sabilillah itu wajib. Tapi merancang kemenangan juga wajib. Dan jihad tak akan menang jika meninggalkan saudara kembarnya; dakwah.
Semoga Allah menjaga kita semua dari perpecahan. Ya Allah, persatukan hati kami dalam dakwah dan jihad dalam rangka litakuna kalimatullahi hiyal ulya.
Catatan:
Baca dengan dada terbuka, jangan baca dengan dada sempit karena benci atau su’u dhan (buruk sangka) atau karena ingin merasakan kepuasan mengalahkan lawan debat.
Komentar oleh Da’i — Februari 22, 2010 @ 8:22 am
(Bersambung)