Benarkah di Penjara Semuanya Buruk?

Other

by Eka Setiawan

Beberapa jam terakhir, kembali dipenjaranya RR- yang merupakan artis dan penyanyi sekaligus anak sang legenda hidup musik dangdut di Indonesia- jadi salah satu peristiwa yang banyak dibicarakan di media sosial. RR yang sudah menghirup udara bebas pada Januari 2018 harus kembali mendekam di jeruji besi karena Mahkamah Agung memperberat hukumannya.

Di berbagai pemberitaan, disebutkan RR membawa kitab suci agama yang diyakininya ketika kembali masuk jeruji besi. Seperti biasa, tentunya ada komentar yang nyinyir netizen. Salah satu komentarnya intinya begini; “waktu berjaya bawa narkoba, saat dipenjara baru bawa kitab suci”.

Yah mau bagaimana lagi? Orang mau memperbaiki diri kok ada terus yang nyinyir. Berkomentar memang mudah, menjalaninya yang repot.

Tapi ngomong-ngomong soal penjara, benarkah di sana semuanya buruk? Sampai-sampai orang jadi antipati kepada penghuninya.

Beberapa pengalaman saya ketika berinteraksi dengan beberapa  narapidana di penjara mungkin bisa jadi gambaran. Sekarang disebutnya sebagai Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP), orang yang dibina loh, yang diarahkan untuk terus menjadi baik, jadi kalau nanti keluar penjara sudah siap move on.

Di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas I Semarang, pada bulan puasa lalu, saya berbincang dengan salah satu WBP kasus pembunuhan berencana. Kalau tidak salah hukumannya 18 tahun. Ketika dia ditangkap polisi, beberapa tahun sebelumnya, saya memotretnya.

Jadi ketika bertemu dengannya, saya sudah tidak asing lagi. Kami berbincang cukup lama. Mulai dari apa aktivitas sekarang sampai sedikit membahas perkara yang dulu menjeratnya.

Perbincangan sampai pada topik pendidikan. “Saya walaupun sudah tua (usianya sudah hampir 40 tahun), tetap semangat sekolah lagi,” kata dia.

Dia ini melanjutkan pendidikan Paket C di penjara, tempatnya menjalani hidup untuk beberapa tahun ke depan. Bahkan, saat itu, ketika diadakan ujian, dia tampak bersemangat.

“Pendidikan itu penting” lanjutnya.

Wah, sepertinya saya sudah tidak melihat lagi dia yang dulu, ketika beberapa tahun lalu ditangkap polisi sebab menghabisi mertuanya. Dia yang sekarang saya lihat, terpancar semangat luar biasa memperbaiki hidup lewat pendidikan. Semangat itu membuatnya mampu melawan rasa malu, sebab di usianya yang tak lagi muda tapi masih sekolah setara SMA.

Ada lagi seorang WBP, terpidana kasus narkoba yang mengobrol dengan saya. Sekarang, dia menjalani sisa hukumannya dengan berjualan kue di dalam komplek penjara. Dia mau belajar membuat kue, meski dikatakannya tak mudah, tapi dia semangat hingga akhirnya bisa.

“Ini bermanfaat, (selain jadi penghasilan) juga mengalihkan (agar tidak terbayang pakai narkoba lagi),” kata salah satu petugas pendampingnya.

Jumat (12/7/2019) kemarin ketika saya berada di Rutan Solo untuk suatu acara, saya juga sempat mengobrol dengan salah satu penghuninya. Dia seorang lelaki asal Kabupaten Boyolali, sudah 2 tahun terakhir menjalani hukuman dan September nanti dia akan bebas.

Dia begitu bersemangat ketika mengobrol, di sela-sela kesibukannya sebagai tamping (tahanan pendamping). Tangannya cekatan, mengangkat air mineral, nasi kotak, maupun membersihkan sampah.

Kami mengobrol santai layaknya teman yang sudah lama kenal. “Saya kena UUPA (Undang-Undang Perlindungan Anak),” kata pria itu.

Dia begitu bersahabat. Tak ada tatapan mata penuh curiga, raut mengerikan, ataupun stereotipe ‘para kriminal’ lainnya, seperti yang kerap digambarkan di berbagai cerita maupun di film-film soal kriminal.

 

FOTO EKA SETIAWAN

Seorang Tahanan Pendamping (Tamping) Dapur di Rutan Solo mendorong gerobak berisi makanan untuk diantarkan kepada teman-temannya, Jumat (12/7/2019).

 

 

 

Komentar

Tulis Komentar