Selalu banyak cara untuk bisa hijrah. Dan, banyak padanan kata mengenai hijrah. Salah satunya adalah migrasi. Dalam konteks sejarah Islam, hijrah tidak hanya memberikan secercah harapan, namun juga meninggalkan kesedihan yang mendalam. Hal ini dikarenakan beberapa dari mereka yang ikut berhijrah harus rela meninggalkan sanak keluarga mereka.
Namun, tidak semua mereka yang berhijrah dengan niat karena Tuhan. Ada yang berhijrah karena melihat peluang bisnis dan jabatan di Madinah, serta ada juga yang berhijrah karena wanita atau lelaki yang mereka idamkan. Hijrah yang dimaknakan sebagai perpindahan dari suatu daerah menuju ke daerah lain tidak hanya sekedar pindah, tetapi harus mempunyai tujuan yang jelas dan didasari oleh motivasi jiwa yang ikhlas.
Di Indonesia, dua hingga tiga tahun belakangan ini, hijrah digambarkan dengan tagar di medsos, penampilan fisik dan non fisik yang berubah, atau menggunakan simbol-simbol yang erat kaitannya dengan Islam. Ekspresi “kegairahan beragama” yang dikomunikasikan baik verbal dan non verbal, terjadi di semua agama. Tetapi situasi global dan Indonesia menunjukkan bahwa persolan hijrah atau menjadi lebih dalam hubungannya dengan agama dan Tuhan tidak lepas dengan nuansa politik.
Secara istilah, migrasi bisa dikategorikan sebagai hijrah. Migrasi, dari dan ke negara yang berbeda, di era globalisasi adalah sebuah proses interkoneksi wilayah yang menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan. Migrasi saat ini, ada yang menimbulkan permasalahan. Sebagai contoh di Indonesia, para simpatisan ISIS yang terhubung dengan simpatisan asing, yang ingin kembali pasca jatuhnya “kekhilafahan” versi sendiri, mengundang pro dan kontra. Isu keamanan seperti terorisme menjadi berkaitan dengan proses globalisasi. Muncul saling ketergantungan antar negara dan sekaligus juga peningkatan masalah bersama, seperti terorisme.
Dalam dokumen sejarah Indonesia, terorisme yang terhubung dengan orang asing dapat kita temui pada saat Residen Hindia Belanda di Kerisidenan Madiun bernama J.J. Donner. Dari tahun 1901 sampai 1905, dalam amatan Donner, terjadi gerakan terorisme dengan merajalelanya pembakaran kebun tebu dan tembakau di Besuki, Jawa Timur. Pada masa itu apa yang disebut dengan terorisme dihubungkan dengan perlawanan rakyat terhadap penjajah. Terminologi, pola, dan tren terorisme bisa saja berubah mengikuti zaman. Di masa globalisasi, apa yang sedang dihadapi Indonesia mengenai simpatisan ISIS yang mau pulang, harus disikapi dengan hati-hati.
Saat bermigrasi ke wilayah ISIS dengan mudah, simpatisan yang keluar dari Indonesia pasti memanfaatkan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi serta keterjangkauan biaya transportasi. Faktor-faktor kemudahan dalam koneksi antar manusia dimanfaatkan juga oleh teroris. Dalam ilmu hubungan internasional isu migrasi simpatisan ISIS diposisikan pada keamanan manusia (human security). Perubahan konsep keamanan tradisional ke keamanan manusia tidak lepas dari lima dimensi, yaitu:
1. Sumber ancaman. Dulu ancaman digambarkan datang dari luar negara, sekarang dapat berasal dari domestik dan global.
2. Sifat ancaman. Dulu ancaman digambarkan dengan kekuatan bersenjata secara militer, sekarang instabilitas nasional dan internasional bisa diakibatkan oleh proses-proses interaksi aktor non negara.
3. Perubahan respon terhadap ancaman. Dulu respon keamanan adalah pendekatan bersenjata, sekarang respon mengkombinasikan dengan pendekatan multi dispilin keilmuan.
4. Perubahan tanggung jawab keamanan. Dulu negara adalah satu-satunya yang berkewajiban menyediakan keamanan bagi warganya, sekarang rasa aman adalah hasil interaksi individu antar wilayah.
5. Nilai inti keamanan. Dulu fokus keamanan hanya fokus pada kedaulatan dan integritas teritorial, sekarang fokus bertambah pada banyak hal, seperti upaya-upaya memerangi kejahatan lintas batas (transnational crime).
Terorisme global tidak bisa lepas dari dua persoalan besar, yaitu perkembangan yang terjadi di dunia akibat globalisasi dan tumbuhnya partikularisme domestik dan transnasional sebagai reaksi terhadap globalisasi. Simpatisan ISIS adalah bentuk aktor-aktor baru non negara yang dapat mengancam keamanan manusia. Menjadi pertanyaan, “Mengapa setelah menolak menjadi warga negara Indonesia, lalu menjadi simpatisan ISIS, namun setelah “kekhilafahan” versi sendiri runtuh hendak kembali ke tanah air?” Menjawab pertanyaan tersebut, saya teringat karya Plato “Republic”, mengenai konsep desire for recognition yang mengacu pada kebanggaan sebagai manusia dan di sisi lain mengarah pada kemarahan apabila tidak mendapatkan posisi yang proporsional dalam relasi sosial. Bangga karena menjadi bagian ISIS sebagai yang diyakini sekaligus marah terhadap situasi dalam negeri karena tidak sesuai dengan yang diyakini.
Simpatisan ISIS yang minta kembali ke tanah air, pada awalnya tentu memiliki semangat mempertaruhkan hidup untuk memperoleh pengakuan identitas, hijrah atau migrasi demi hidup dalam negara khilafah. Identitas yang dapat menjelma menjadi kekuatan pemersatu sekaligus pula sebagai kekuatan pemecah. Jika anda ingin menjadi dari bagian dari globalisasi yang tidak menimbulkan masalah, maka carilah cara yang berfaedah, misalnya dengan jalan-jalan dengan pola PJKA (Pergi Jumat Kembali Ahad). Piknik lah supaya semakin kaya relasi sosial anda, semakin sering anda bertemu dengan yang berbeda, dan semakin mengerti budaya yang berbeda di dunia.
Foto: Sam Falconer