Ada dua cerita tentang bagaimana ia beberapa kali bersinggungan dengan orang-orang dari kelompok jihadis lapangan yang ia anggap sudah mewakili cerita-cerita serupa di tempat lain. Setelah kemarin cerita yang pertama sudah, sekarang kita lanjut ke cerita yang kedua :
Pernah pula ia didatangi oleh seseorang yang datang bersama istri dan anakya yang masih kecil dan mengaku merupakan DPO kasus pelatihan di Poso. Orang itu butuh tempat tinggal dan perlindungan sementara.
Pada saat itu ada ikhwan lain yang berada di tempat itu yang langsung bersimpati dan mengarahkannya agar tinggal di sebuah rumah di suatu kota sambil membantu mengurus yayasan sosial yang ada di kota itu.
Tetapi beberapa waktu kemudian si DPO itu tiba-tiba menghilang bersama keluarganya dengan posisi sedang memegang dana amanah dari para donatur untuk dipergunakan oleh yayasan tempat ia berlindung itu.
Sebenarnya pada saat ikhwan penolong itu memutuskan untuk menempatkannya untuk membantu urusan yayasan sosial di kota itu, ikhwan-ikhwan yang lain sudah ada yang mengingatkan tentang resiko misalnya si DPO itu ditangkap di kantor yayasan. Bukankah itu bisa mengurangi kredibilitas yayasan di mata ummat ?
Jadi, dengan menghilangnya Si DPO itu ada hikmahnya juga meski yayasan harus kehilangan sebagian dana miliknya. Itu dianggap lebih baik daripada jika sampai si DPO itu ditangkap pas ada di yayasan.
Menurutnya, cerita itu menunjukkan betapa para pelaku proyek klandestin itu belum siap jika menghadapi kegagalan. Kedatangan mereka ketika jadi DPO untuk meminta bantuan orang-orang yang bergerak di bidang dakwah/sosial adalah buktinya.
Berbeda dengan orang-orang yang bergerak di bidang dakwah/sosial, mereka lebih siap untuk menghadapi kegagalan. Termasuk membelotnya salah satu kader atau binaan mereka ke dalam kelompok klandestin tidak jelas adalah salah satu kegagalan. Tapi mereka telah mengantisipasinya, yaitu dengan mengunci agar yang sudah kotor itu tidak mengotori yang lain. Meskipun pada prakteknya tidak bisa 100% tegas dan tuntas.
Menanggapi cerita ini saya kemudian bertanya : “Bagaimana dengan para mantan napiter yang ingin kembali untuk beraktivitas bersama para aktivis dakwah seperti antum ? Apakah bisa diterima kembali dengan baik ?”
Dia kemudian menjelaskan bahwa posisi para mantan napiter itu adalah orang yang akan masih terus diawasi gerak-geriknya. Jadi ketika ia bergabung dengan salah satu kelompok atau komunitas aktivis, otomatis aktivitas kelompok atau komunitas yang diikutinya itu akan ikut diawasi. Dan hal ini bagi sebagian aktivis akan membuat mereka tidak nyaman.
Ia lalu menambahkan, sebaiknya para mantan napiter memilih untuk mengikuti kegiatan yang lebih umum seperti bergabung di komunitas hijrah, Bikers Muslim, komunitas hobi, dll, yang ada kegiatan dakwah atau kegiatan sosialnya. Itu menurutnya lebih aman sebagai tahap awal untuk membuktikan kepada umat bahwa ia sudah berubah. Sebelum nanti akhirnya bisa diterima di komunitas yang lebih ‘serius’.
Terkait apa yang dilakukan oleh JI dalam menghadapi fitnah terorisme dan radikalisme, ia hanya menjelaskan secara singkat. Yaitu JI saat ini berusaha untuk menyertai ummat dalam menghadapi setiap persoalan yang dihadapinya dan mencoba mencarikan solusi bersama. Mulai di bidang sosial, pendidikan, pembinaan, sampai pemberdayaan.
Terakhir dia menasehati saya terkait posisi saya sebagai mantan napiter yang menjadi klien pendampingan dari LSM :
“ BNPT dan LSM-LSM yang membina orang-orang seperti antum itu tidak akan pernah menganggap antum telah sepenuhnya 100% tidak menimbulkan ancaman. Betapa pun baiknya mereka melihat dan mengapresiasi perubahan positif antum, mereka tetap menganggap antum sebagai ancaman. Dan itu tidak akan pernah mencapai level nol.
Antum pun harus bersikap demikian kepada mereka. Sebaik apapun perlakuan mereka pada antum saat ini, mereka tetaplah musuh yang selalu mencari celah kelemahan kita dan potensi ancaman dari kita. Jika antum bisa melakukan hal ini, in sya Allah masih ada kebaikan yang bisa diperoleh”.
Menanggapi nasehat itu, saya hanya mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya karena itu adalah bukti bahwa ia masih sayang dan mengharapkan kebaikan bagi diri saya meskipun saya tidak sepenuhnya sepakat dengannya. Pelajaran terpenting yang saya dapat dari diskusi itu adalah tentang sikap para aktivis dakwah terhadap ‘eksperimen jihad’ dan mantan pelaku ‘eksperimen jihad’ itu.
Dari kisah ini, Anda mungkin jadi mengetahui bahwa ketika seorang mantan napiter ingin kembali terlibat dalam aktivitas dakwah dan pemberdayaan ummat pada sebuah kelompok pergerakan, tidak serta merta akan langsung diterima. Itulah salah satu alasan mengapa para mantan napiter perlu alternative engagement agar tidak galau jika ditolak oleh komunitas di mana ia sebenarnya ingin bergabung.
Source Image : https://jagad.id/