Yang Merakyat Dikitlah, Kopi-Kopi Warung...

Other

by Eka Setiawan

Rabu, 3 Juli 2019 selepas pukul 16.00 WIB, agak ngakak saya membaca obrolan di salah satu grup WhatsApp (WA) ponsel saya. Grup itu adalah grup WA teman-teman kuliah dulu, di Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro (Undip) Semarang.

Tempat di mana, belasan tahun lalu kami pernah berkuliah satu angkatan. Kami angkatan 2004. Jumlahnya kalau tidak salah ada 32 mahasiswa, di mana 4 orang di antara kami (seingat saya ya) tak melanjutkan studinya sampai lulus. Ada yang kabur entah ke mana, pindah jurusan malah ada yang pindah kampus.

Tahun-tahun itu, di wilayah Undip Tembalang (biasanya disebut pula Undip ‘nduwur’-karena lokasinya di Semarang atas), jurusan kami terbilang istimewa. Sebab, kampus jurusan kami itu hanya satu di antara dua jurusan ilmu sosial lain yakni Kearsipan, di wilayah kampus Undip Tembalang.

Jadi kampus kami itu berada di antara belantara kampus-kampus teknik dan ilmu eksakta. Kalau naik angkutan umum yang masuk kampus, berbaur di antara para mahasiswa teknik dan eksakta, kami mungkin paling mudah dicirikan.

Para mahasiswa teknik biasanya naik angkot membawa gulungan karton, beragam alat ukur, waterpass atau perangkat lain yang jadi semacam ‘simbol-simbol’ mereka.

Kalau eksakta sih, menurut pandangan saya ya, rata-rata para mahasiswanya terlihat rapi, klimis dan cenderung pendiam.

Nah para mahasiswa jurusan kami itulah yang kadang mudah dicirikan. Kerap terlihat belel, kucel, tas ransel tapi kosong, hanya satu dua buku saja yang dibawa, beberapa lembar fotokopian plus binder. Kami hanya membawa semangat hahaha! Semangat untuk survive di tengah orang-orang teknik dan eksakta.

Nggak mungkin juga kan kami bawa-bawa stupa candi, bawa relief, prasasti ataupun arsip-arsip berisi data-data pemerintah kolonial. Hehehe.

Kembali ke obrolan di grup WA tadi. Yang membikin saya agak ngakak itu diawali chat dari kawan Jay Akbar, orang Lenteng Agung yang kini jadi salah satu pimpinan di kantor berita online Tirto.id.

Dia mengajak ngopi. Saya membacanya sebagai ajakan tulus ikhlas dari dasar hati, untuk berkumpul bersama kawan-kawan lama. Ngopi itu nomor sekian, yang penting berkumpul, mengobrol, berbagi cerita.

Kenapa saya bisa menerka begitu? Ya iyalah, saya dan mereka –kami- sudah lama kenal. Jadi tahu kebiasaan. Jadi meskipun kawan-kawan itu sekarang sudah berubah (profesinya), tingkat kemapanannya, tapi saya yakin 'soul'nya masih yang dulu hehehe.

Ngopi adalah semacam ajang untuk merawat silaturahmi di antara kami. Ngumpul itu nomor satu, masalah apa ngopinya itu nomor ke sekiaaaann. Sebab itulah, wajar saja kalau datang ke tempat kopi, tapi ada yang pesan es teh, mi rebus, jus, sampai cokelat. (loh, ini ngajaknya ngopi kok pesannya es teh?)

Tapi sekali lagi itu tak jadi soal, yang penting kebersamaannya.

Chat itu kemudian jadi saling balas. Sampai pada titik di mana ngopinya. Ada yang mengajak di Kemang sampai kopi Anomali. Saya sendiri nggak tahu pastinya tempat-tempat itu.

Saya menyimak saja, sesekali menimpali dengan guyonan. Karena saya memang tinggal di Semarang, meski sering ke Jakarta tapi paling satu dua hari saja untuk keperluan pekerjaan.

Pilihan-pilihan warung kopi itu, di chat yang saling berbalas itu, sampai pada titik yang membuat saya tersenyum. Adalah chat dari kawan bernama Yan Agung. “Yang merakyat dikitlah, kopi2 warung,” demikian tulisnya.

“wkwkwk starjot, starbuck genjot,” balas kawan Andika Maharaya. Kawan yang bapaknya itu penulis kondang, salah satu dosen di UI. Dika, sapaan akrab Andika, setahu saya, sekarang bekerja di salah satu perusahaan kosmetika besar.

“kopi pangkulah,” balasnya lagi.

Saat tulisan ini ditulis, chat itu belum lagi berbalas. Mungkin kawan-kawan masih pada sibuk menyelesaikan urusannya masing-masing, termasuk kerja, ataupun ada yang sedang berjuang melawan macetnya Jakarta.

Tapi satu lagi saya tetap yakin. Di manapun tempatnya, entah itu kopi warung, emperan, atau tempat-tempat lain yang mungkin menjual simbol kemapanan, ngopinya mereka itu akan tetap berjalan. Berkumpul bukan untuk ajang pamer gadget, pamer kemapanan atau stereotip negatif lainnya.

Bukan kopinya, tapi ajang kumpul-kumpul itu yang membuat kangen. Tak peduli sekarang apa profesinya, pertemanan haruslah tetap dirawat.

 

FOTO: EKA SETIAWAN

Komentar

Tulis Komentar