Bagaimana Propaganda ISIS Berjalan?

Analisa

by Eka Setiawan

Kelompok Islamic State (IS) atau lebih dikenal Islamic State Iraq and Syiria (ISIS) kerap disebut sebagai dalang berbagai aksi teror yang terjadi, baik di Indonesia maupun di negara-negara lain.

Sebut saja; serangkaian bom bunuh diri yang terjadi di Sri Lanka pada 21 April 2019, ISIS mengklaim dalang di balik aksi teror yang menyebabkan ratusan orang meninggal dunia.

Teranyar terjadi di Indonesia, ketika terjadi pada H-2 Lebaran lalu, seorang pemuda bernama Rofiq di Pos Polisi Kartasura. Memang tak ada korban tewas pada insiden yang terjadi malam hari itu. Rofiq menderita luka-luka akibat bom yang dibawanya.

Polisi mengklaim Rofiq terpapar paham radikal, bahkan sampai berbaiat kepada Al Baghdadi, pemimpin tertinggi ISIS, via media sosial. Rofiq belakangan cenderung menyendiri, lebih suka online.

Lalu ada sejumlah kasus lain di Indonesia, di mana pelakunya juga terpapar paham radikal via media sosial. Mereka menonton beberapa tayangan atau video-video berisi konten kekerasan maupun sebaliknya, yakni janji-jani manis kelompok ISIS.

Mereka terbuai. Satu bisa melakukan aksi, hingga menjadi foreign fighter pergi ke Suriah sana, bergabung kelompok ISIS. Atau efek lain, ada pula yang pergi ke Suriah sebab terbuai janji-janji manis ISIS akan kehidupan “surgawi”.

Aneka fenomena itu, tentu saja video yang tersebar di media sosial jadi salah satu penyebab terpaparnya seseorang. Cuci otak tanpa harus bertatap muka langsung.

Lantas kenapa orang bisa tertarik aneka video tersebut? Rupa-rupanya ISIS memang secara terorganisir memproduksi dan menyebarkannya. Baik melalui media mereka sendiri, maupun disebarkan ke media-media sosial.

Ini adalah video-video propaganda. Bertujuan menyebarkan ketakutan sekaligus janji-janji agar orang terpengaruh.

Mengutip dari buku Destination Syria An Exploratory Study into the Daily Lives of Dutch ‘Syria Travellers” (Daan Weggemans, Ruud Peters, Edwin Bakker, Roel de Bont, 2016), saluran media resmi ISIS al Hayat memproduksi propaganda dalam bentuk video HD yang diedit secara profesional.

Misalnya, jika dirata-rata, kelompok ISIS menghasilkan 2,5 video setiap harinya. ISIS juga secara teratur merilis majalah berbahasa Inggris (Dabiq) dan menghasilkan lagu (nasyid) dan video, item berita, laporan foto dan pesan audio.

ISIS juga memiliki stasiun radio dan televisi sendiri. Selain melalui saluran resmi, aneka konten propaganda itu didistribusikan secara online oleh individu. Misalnya, seorang jihadis ISIS ataupun penduduk lokal yang tinggal di daerah yang dikuasi mereka, berbagi informasi tentang hidup mereka di Twitter, Facebook, YouTube, Google +, Tumblr maupun Telegram.

Mereka memposting terkait kehidupan sehari-hari mereka. Mulai makan hingga rekreasi. Selain itu, mereka juga memposting video-video maupun gambar tentang pertempuran dan kekerasan, seperti pemenggalan kepala ataupun eksekusi tawanan ataupun orang yang dicap memberontak.

Pimpinan mereka, Abu Bakar Al Baghdadi juga menggunakan media ini untuk memanggil umat Islam di seluruh dunia untuk bergabung ISIS dan angkat senjata. Muslim yang tidak dapat pindah ke khilafah didesak untuk merencanakan serangan di negara tempat tinggal mereka.

Selain kekerasan yang diposting, banyak juga laporan video maupun foto berisi kehidupan sehari-hari yang tampak nyaman. Seperti; isu ekonomi (gambar produksi pangan, ladang, jagung, pasar). Isu sosial (fasilitas sosial seperti rumah sakit dan air minum bersih), waktu luang dan relaksasi (persahabatan antarpejuang, ikatan keluarga dekat hingga taman bermain anak-anak), juga kegiatan keagamaan (seperti gambar masjid, sekolah syairah, pejuang bernyanyi dan studi Alquran).

Konten-konten propaganda itu ternyata ampuh menarik orang di Indonesia dan bahkan akhirnya nekat bergabung dengan ISIS di Suriah. Meskipun dalam perjalanannya banyak di antara mereka yang kecewa karena apa yang dilihat di media sosial tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan.

Di sinilah peran penting dibuatnya narasi-narasi alternatif sebagai penyeimbang. Media sosial yang tak lagi terikat batas-batas wilayah, unggul dengan kecepatan, harus dimanfaatkan betul untuk agenda ‘perang’ terhadap konten-konten radikal, sebagaimana disebarkan ISIS.

Perang yang terjadi saat ini berupa perang ide. Sebab itulah, harus ada penyeimbang informasi, bahkan informasi-informasi itu dijadikan sebagai alat kontrapropaganda radikalisme yang terus menerus disebarkan kelompok radikal.

 

SUMBER GAMBAR: https://damailahindonesiaku.com/wp-content/uploads/2017/02/propaganda-media-controls-us-1-310x165.png

Komentar

Tulis Komentar