Apakah yang di Suriah Semuanya Buruk ?

Other

by Febri Ramdani

“Pengalaman adalah guru yang unik, dia memberikan tes terlebih dahulu, baru mengajarkan hikmahnya,”  (Merry Riana)

Itu adalah satu quote dari seorang motivator terkenal di Indonesia yang menurut saya cukup menarik. Merry menuliskannya di akun Twitter pribadinya, pada 14 Juni 2013.

Saya merasa kutipan tersebut sangat mengena pada pengalaman yang pernah saya alami di Syiria, dua tahun silam.

Negara itu dipenuhi peperangan, pembantaian, bom, bangunan hancur, milisi, minimnya akses pendidikan hingga perdagangan manusia.

Serangkaian keadaan itu adalah kolaborasi menebar ketakutan yang membuat Syiria menjadi salah satu negara di dunia yang berbahaya untuk didatangi.

Hanya ada beberapa wilayah saja yang masih relatif aman, masih bisa dikunjungi oleh masyarakat sipil, salah satunya Damaskus. Itupun harus dengan alasan dan tujuan yang jelas.

***

Sekitar delapan tahun lalu, pada musim semi tahun 2011 telah terjadi fenomena di banyak negara Arab, yaitu “The Arab Spring”. Syiria salah satunya.

Rezim Bashar al-Assad diprotes warganya. Sebab, pemerintahannya dinilai menyebabkan negara itu amburadul. Dampaknya; perang saudara, munculnya kelompok pemberontak, revolusi hingga pengunduran diri orang-orang pemerintahan dan parlemen.

Namun, saya tidak akan banyak membahas tentang segala kekacauan itu. Menurut saya, masih ada beberapa kebahagiaan yang saya dapatkan di sana.

Salah satunya adalah soal makanan. Jauh di negeri orang membuat kangen masakan Indonesia yang kaya rempah. Memang, ada beberapa makanan di Syiria yang rasanya mirip dengan masakan Indonesia.

Sejak saya melewati perbatasan Turki dan Syiria pada September 2016 hingga awal tahun 2017, hampir tiap hari saya mencicipi olahan daging dan ayam.

Terutama saat ditahan faksi jihadis Jabhat al-Nusra (JN). Kelompok itu menjamu para muhajirin cukup baik, walaupun ujung-ujungnya sering dipaksa gabung mereka.

Selain jamuan dari kelompok JN, saya juga suka jajanan pasar di Syiria. Salah satunya shawarma. Itu sejenis kebab.

Ada dua jenis shawarma yang sampai saat ini masih saya ingat bagaimana rasanya. Pertama, di Kota Idlib yang porsi dan rasanya khas Timur Tengah. Kedua adalah shawarma di Kota Raqqah, yang rasanya perpaduan bumbu Timur Tengah dan Indonesia.

Kalau kata Pak Bondan Winarno (alm), rasanya maknyusss. . .

Pengalaman lain yang bisa saya ambil ketika di Syiria sana adalah belajar bahasa. Berada di sana, memaksa saya membuka kembali memori lama pelajaran Bahasa Arab semasa SD dan SMP.

Butuh waktu beberapa bulan untuk bisa cukup paham setiap kali berbicara dengan Bahasa Arab. Walaupun tingkat conversation-nya masih sangat dasar, Alhamdulillah.

Begitupun dengan bahasa-bahasa lainnya seperti; Jerman, Perancis, Turki, dan Inggris tentunya. Bahasa Inggris baru mulai sering kugunakan sekitar 4 bulan setelah berada di Syiria. Begitu pula dengan tiga bahasa lainnya, yang mana kupelajari dari orang-orang yang berasal dari warga negara tersebut.

Hal lain yang bisa saya ambil hikmahnya ketika berada di Syiria adalah saya jadi rajin olahraga.

Hmm. . . untuk yang satu ini mungkin bisa dibilang karena ada unsur keterpaksaan, hehehe. Mengapa begitu? Karena untuk beberapa kota yang ada di Syiria, yang tentunya pernah saya kunjungi, akses transportasi agak sulit.

Sekalipun ada, itupun terkadang cukup jauh. Jadi mau tidak mau, kita harus lebih sering menggunakan kaki kita untuk berjalan. Yang tentunya akan membuat kita menjadi lebih sehat. Jadi olahraga deh!

Itu hanyalah gambaran tentang beberapa sesuatu yang masih bisa saya dapatkan saat berada di Syiria. Sedikit hal menarik dan tentu saja pengalaman yang tidak bisa didapatkan di sekolah manapun.

Hikmah dan pelajaran yang bisa dipetik dari perjalanan saya ke Syiria sangatlah banyak. Namun, salah satu pelajaran yang paling ngena banget di hati saya adalah; tanah air tercinta dimana saya lahir dan dibesarkan, tetap saja menjadi rumah terbaik.

#ThinkBeforeYouAct #FoodForPeace

Komentar

Tulis Komentar