Bagaimana “Terorisme” Dikomunikasikan? (Bagian Keempat/Terakhir: Kesadaran Merek/Brand Awareness)

Other

by Boaz Simanjuntak

Apa arti “Kesadaran” bagi anda? Jika kita membuka KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) akan menemukan banyak sekali artinya, salah duanya adalah mengetahui dan mengerti. Brand/merek membutuhkan kedua hal tersebut, jika ingin tetap bertahan diantara pesaing. Kelompok-kelompok teroris pun mengetahui dengan baik perihal kesadaran merek.

Dalam tiga tulisan terdahulu, pada saluran apa mereka meyebarkan ide “Terorisme,” jelas bahwa teroris pun serius mengelola diri mereka sebagai merek. Lihat saja rekaman video yang menunjukkan konvoi kendaraan militan ISIS. Mobil double cabin berwarna putih dengan merek yang sama beserta senjata mesin di bagian belakang dan seragam para militan berwarna hitam disertai bendera, konsisten dengan dua warna, hitam dan putih. Sebuah pesan telah digulirkan untuk kesadaran merek, konsistensi kepada yang belum kenal maupun yang sudah kenal merek bernama ISIS.

Dimensi brand awareness menurut Humdiana dibagi menjadi empat, yaitu: unaware of brand/tidak menyadari merek dimana merek tetap tidak dikenal walaupun sudah dipromosikan, brand recognition/pengenalan merek dimana merek telah dikenal setelah dipromosikan yang berakibat akan mengalami pencarian ulasan produk, brand recall/pengingatan kembali merek dimana merek tanpa promosi pun tetap diingat, dan top of mind/puncak pikiran dimana merek disebut pertama kali saat sebuah produk disebutkan. Saat saya berdiskusi dengan para kolega tentang terorisme, entah kenapa nama ISIS keluar pertama kali dibandingkan nama kelompok lain.

Studi terorisme menjadi menarik saat memakai berbagai macam pendekatan keilmuan, termasuk komunikasi pemasaran. Membonceng nama sebuah merek untuk tujuan promosi dan meraih top of mind adalah salah satu cara tidak langsung yang bisa jadi menarik perhatian. Di Guangdong, Cina, sebuah toko memasang kata ISIS sebagai nama merek, alasan sang pemilik adalah ketidaktahuannya. Lain lagi di Denver, Amerika Serikat, sebuah toko buku bernama ISIS mengalami aksi vandalisme, walaupun sang pemilik toko beralasan bahwa nama ISIS diambil dari nama dewi Mesir kuno dan acara serial televisi yang terkenal di tahun 1970an bernama “The Secrets os ISIS”. Produk coklat asal Belgia yang harus merubah nama ketiga kalinya, mulai dari “Italo Suisse” menjadi ISIS dan dirubah lagi menjadi “Libeert,” nama sang pemilik. Dari ketiga contoh tersebut, ISIS sebagai merek sudah mencapai top of mind yang bisa berdampak kepada sentimen terhadap bisnis yang dijalankan.

Merek adalah komunitas berisi kumpulan orang yang digerakkan oleh sistem kepercayaan bersama. Sistem yang menarik perhatian orang di luar komunitas untuk menyebarkan ide-ide yang sama, sehingga diharapkan bisa menambah pengikut, simpatisan, atau menjadi pendukung. Identitas merek dari organisasi teroris membawa banyak arti melalui simbol, konten yang menggugah emosi, dan proses pembentukan nilai. Merek adalah sesuatu yang membentuk rasa percaya terhadap keberadaan dan ingin ikut serta di dalamnya, hal inilah yang bisa kita lihat saat memahami mengapa orang terlibat dalam aksi teror dan bergabung dengan kelompok teror.

Rasa memiliki adalah gambaran yang terlihat antara kanal komunikasi dan merek yang dikembangkan dalam konteks organisasi teror. ISIS, menurut Steven Heller, penulis buku “Iron Fists: Branding the 20th-Century Totalitarian State,” telah memunculkan merek ketakutan yang mendunia bernama teror, seperti penyebaran video melalui media sosial yang menunjukkan eksekusi mematikan terhadap tawanan mereka. Sebagai sebuah merek yang dipasarkan untuk meneror dan memberi efek ketakutan, ISIS berhasil memposisikan diri sebagai kelompok teror lintas negara dengan pendekatan lintas bahasa, walaupun bukan yang pertama menyebarkan ide khilafah di dunia.

Foto: “ISIS Fighters”/Patheos

Komentar

Tulis Komentar