Melawan Stigma

Other

by Arif Budi Setyawan

Pernahkah Anda mengalami kondisi di mana orang-orang tidak lagi percaya pada Anda karena suatu kesalahan yang pernah Anda perbuat meskipun Anda telah sangat serius berusaha untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama ? Bagaimana rasanya ?


Bagi yang pernah mengalami pasti akan pernah merasa tidak dihargai, jengkel bercampur marah karena orang-orang tak kunjung percaya padanya padahal sudah berusaha memperbaiki diri, dan jika berkepanjangan bisa menyebabkan keputusasaan sehingga muncul ungkapan yang salah : Buat apa berusaha jadi baik, toh orang-orang tetap tidak percaya lagi.


Ada beberapa cerita yang sampai ke saya tentang beberapa orang (lebih dari satu) napiter yang hampir ‘ngambek’ mengikuti program pembinaan dan berkelakuan baik di Lembaga Pemasyarakatan gara-gara proses untuk mendapatkan remisi atau pembebasan bersyaratnya lambat karena -misalnya- tak kunjung mendapat surat keterangan deradikalisasi padahal sudah lama mengikuti semua program pembinaan.


Atau kasus para mantan napiter yang ketika sudah kembali ke masyarakat dan berusaha meniti hidup baru masih terus dicurigai akan menyebarkan ideologi kekerasannya (padahal tidak semuanya terlibat karena alasan ideologis dan masih keukeuh dengan ideologinya).


Di antara mereka ini ada yang merasa tidak nyaman dengan kehadiran aparat keamanan yang secara berkala melakukan monitoring baik secara terbuka maupun tertutup. Mereka menganggap aparat atau negara masih tidak percaya dengan perubahan dirinya, padahal dirinya sudah lama menunjukkan perubahan. Seakan-akan meremehkan apa yang telah ia lakukan selama ini.


Atau pada kasus yang lain misalnya pada sebagian mantan pengedar narkoba, di mana ketika mereka sudah keluar dari penjara dan berusaha memulai hidup baru masih banyak orang yang menjauhinya dan selalu curiga padanya.


“Awas jangan dekat-dekat, nanti ditawari narkoba olehnya”, “Jangan dekat-dekat, nanti kau bisa terpengaruh jadi pemakai atau pengedar narkoba”, dst...dst adalah kata-kata yang sering didengarnya.


Hal ini tentu saja mengganggu karena mereka butuh dukungan. Butuh pekerjaan. Sedangkan masyarakat di sekitarnya adalah tempat ia mencari pekerjaan.


Jika mau dicari siapa yang salah dalam hal ini, maka orang yang sedang memperbaiki diri dan orang-orang di sekitarnya yang bersikap kurang menghargai dan cenderung terus untuk under estimate itu sama-sama mempunyai kesalahan. Lalu di mana letak kesalahannya ?


Bagi orang yang sedang memperbaiki diri, dia harus memurnikan kembali niatnya dalam memperbaiki diri. Harus ikhlas dan tulus semata-mata karena Allah SWT tanpa ada ‘tujuan lain’ seperti agar mendapatkan remisi/pembebasan bersyarat atau yang lainnya. Harus murni karena Allah SWT tanpa tercampur takut dicela manusia atau dikecewakan oleh manusia.


Jika masih ada jengkel atau marah ketika manusia masih cenderung tidak mempercayainya atau malah masih terus mencurigainya, berarti itu masih tersisa motivasi lain selain mengharap ridha dan balasan dari Allah SWT.


Jika hanya berharap apa yang di sisi Allah SWT tentu ia tidak akan pernah berputus asa. Ia akan terus berbuat baik dan membangun reputasi dengan penuh kesabaran dan tawakkal.


Sedangkan bagi orang-orang di sekitarnya harus mulai berprasangka baik, menghargai setiap upaya dan progres yang terjadi, dan mendukung setiap upaya yang dilakukannya. Jangan sampai orang-orang yang sedang berusaha meniti kehidupan yang baru itu merasa diabaikan dan direndahkan terus. Khawatirnya mereka akan kembali ke jalan lamanya karena merasa tidak diterima di tengah masyarakat.


Menghargai dan mendukung orang-orang yang pernah salah mungkin berat, tapi merupakan perbuatan yang mulia. Karena dengan begitu kita bisa belajar memaafkan dan bisa mengikis kesombongan diri kita.


Melawan stigma itu juga berat. Tapi jika dilakukan sepenuh hati dan semata-mata hanya untuk mengharap ridha dan balasan dari Tuhan, maka semua akan terasa ringan. Semua celaan atau sikap kurang menyenangkan dari orang-orang di sekitar hanya akan menjadi ujian yang jika lulus melewatinya akan meninggikan derajat iman.

Komentar

Tulis Komentar