Jalan Terjal Gerakan Radikalisme di Indonesia

Analisa

by Kharis Hadirin

Dalam pandangan kelompok jihadi, di tengah kondisi percaturan politik di Indonesia yang kian karut akibat korupsi dan ketimpangan sosial yang parah. Negosiasi terhadap pemerintah melalui mimbar-mimbar masjid, seminar maupun bedah buku hanya akan menghabiskan energi secara percuma dan tidak akan merubah sistem negara dengan syari’at.

Maka jihad dianggap sebagai solusi tunggal untuk menyelesaikan persoalan bangsa yang kian terpuruk.

Sementara itu, kaum tuanya tak lebih dari sekedar singa ompong yang tidak lagi bertaji. Kelompok Jama’ah Islamiyah (JI) sendiri dianggap sudah mandul, suaranya tidak senyaring di bawah kepemimpinan Abdullah Sungkar atau pasca kejatuhan era orde baru di bawah rezim Soeharto.

Dan lahirlah beberapa kelompok jihad di berbagai wilayah di Indonesia.

Misalnya Yayasan KOMPAK (Komite Penanggulangan Krisis) pimpinan Abu Dujana alias Ainul Bakri. Organisasi di bawah payung DDII (Dewan Dakwah Islam Indonesia) ini menjadi kendaraan bagi kelompok sempalan yang lahir dari rasa kekecewaan terhadap JI yang dinilai lamban dalam mengambil keputusan terhadap konflik yang terjadi di Ambon pada tahun 2000.

Kemudian Mujahidin Indonesia Timut (MIT) pimpinan Santoso alias Abu Wardah dengan basis pergerakan di Poso, Sulawesi Tengah.

Di dalam kelompok ini, banyak para anggotanya yang berasal dari berbagai latar belakang jaringan yang berbeda. Seperti halnya JI, JAT, MMI, bahkan non-partisan.

Lalu ada juga Neo-Jama’ah Islamiyah (JI) yang berbasis di Klaten, Jawa Tengah. Kelompok ini adalah representasi dari JI lama yang dianggap mulai pasif dan tidak lagi sesuai dengan konsep perjuangan awal, yakni jihad.

Umumnya, para anggotanya adalah orang-orang baru dalam kancah jihad di Indonesia. Kelompok ini sempat menjadi perhatian publik, setelah salah satu pentolannya, Siyono, tewas dalam penyidikan oleh tim Densus 88. Kasus kematian Siyono ini pun bergulir hingga memantik reaksi massa menuntut pembubaran tim elit berlogo burung hantu tersebut, salah satunya Muhammadiyah.

Atau kelompok Abu Umar. Kelompok Abu Umar ini terbilang sebagai pemain baru, namun memiliki koneksi dengan para jihadis dari Filipina. Bahkan senjata yang diduga akan digunakan dalam serangkaian aksi teror di berbagai wilayah, termasuk rencana penyerangan terhadap Kedubes Singapura dan Myanmar, serta sejumlah vihara dan kantor polisi diketahui berasal dari Filipina yang diselundupkan melalui jalur Pulau Sebatik, Kab. Nunukan, Kalimantan Utara.

Narasi yang dibangun oleh kelompok-kelompok di atas tak jauh berbeda dengan para pendahulunya, yakni sebagai masyarakat terjajah di negeri sendiri atau injustice people.

Narasi keterjajahan inilah yang kemudian menginspirasi kelompok ini untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah yang dianggap pihak paling bertanggung jawab atas kemunduran umat di era modernisasi saat ini.

Di lain tempat, terjadi konflik kemanusiaan di Suriah di bawah rezim diktator, Bashar Asad dan berimbas pada munculnya beberapa kelompok oposisi yang berperang melawan pemerintah. Salah satu kelompok oposisi adalah Islamic State of Iraq and Sham (ISIS) besutan dari pentolan Al Qaedah di Irak, Abu Mus’ab Az-Zarqawi.

Di tanah air, deklarasi ISIS mendapat sambutan yang sangat luar biasa, terutama di kalangan kelompok yang selama ini berseberangan dengan ideologi pancasila. Mereka mengadakan pawai di berbagai wilayah, salah satunya terjadi di kawasan bundaran HI (Hotel Indonesia) Jakarta pada Minggu (16/3/2014) yang diikuti oleh ratusan orang dari berbagai wilayah.

Pada hari Minggu (29/6/2014) atau bertepatan tanggal 1 Ramadhan 1435 H, ISIS mendeklarasikan diri menjadi Khilafah Islamiyah atau Islamic State (IS) dengan mengangkat Abu Bakar Al Baghdady sebagai Khalifah atau Amirul Mukminin. Dan ini sekaligus mengawali fase migrasi (hijrah) secara masal menuju Suriah.

Bayang-bayang akan kesejahteraan hidup dan keadilan di bawah naungan Khilafah menjadi motor penggerak untuk rela mengambil sumpah setia atas bai’at terhadap Abu Bakar Al Baghdady.

Melalui juru bicara ISIS, Abu Muhammad Al Adnani, ia mengumumkan bahwa, “Dewan Syura Daulah Islamiyah telah berkumpul dan membahas permasalahan ini. Dan setelah Daulah Islamiyah -dengan izin Allah- memiliki elemen-elemen untuk mendirikan khilafah, yang mana jika tidak dideklarasikan seluruh umat Islam akan berdosa. Juga, tidak ada udzur syar’i bagi Daulah Islamiyah untuk menghindari dosa itu atau untuk tidak mendeklarasikan khilafah.”

“Oleh karena itu, Daulah Islamiyah yang diwakili oleh Ahlul halli wal aqdi dari para pejabat dan pemimpin serta Majelis Syura mendeklarasikan pendirian Khilafah Islamiyah,” kata Al Adnani dalam rilis audio yang disebar di internet sekaligus menandai berdirinya Khilafah Islamiyah atau Islamic State, sebagai kiblat umat Islam di seluruh dunia.

Ironisnya, negeri Khilafah yang didambakan kini tidak semakin baik, namun justru porak-poranda. Ilusi akan kesejahteraan berubah menjadi kesengsaraan. Wabah kelaparan dan ancaman kematian seolah menjadi hidangan yang biasa disaksikan setiap harinya.

Sementara itu, di negeri sendiri, mereka yang mengaku sebagai kelompok 'terjajah' dan mengambil perannya dengan menebar teror dimana-mana justru tak sedikit pun memberikan manfaat, alih-alih mendapat simpati dari publik.

Sebab apa yang mereka lakukan, bukan membantu mengentaskan masyarakat dari kemiskinan dan kebodohan, justru memperkeruh keadaan di tengah upaya pemerintah dalam membangun SDM yang nantinya mampu bersaing di kancah global. Wallahu’alam...

 

Link foto: https://news.mb.com.ph/2017/11/01/indon-national-with-maute-group-arrested-in-marawi/

 

Komentar

Tulis Komentar