Merek adalah sesuatu yang melekat pada sesuatu dan seseorang. Merek menjadi sebuah pernyataan yang berdampak, baik atau buruk. Kemampuan mengelola merek akan berujung pada eksistensi merek. Merek, menurut Kotler dan Keller di tahun 2006, mendefinisikan sebagai nama, istilah, simbol, tanda, rancangan, atau kombinasi dari hal-hal tersebut, bertujuan untuk memberikan pengalaman yang berbeda sebagai sebuah bentuk diferinsiasi atau pembeda, harus unik dan khas. Apakah “Terorisme” bisa digambarkan sebagai sebuah merek? Jawabannya, bisa! Dalam konteks menggunakan prinsip komunikasi merek yang paling umum yaitu promosi, tidak ada perbedaan antara kelompok teroris atau bukan. Tetapi, cara merek dikomunikasikan, menggunakan kanal apa atau seperti apa narasi yang digunakan, itulah beberapa hal yang menjadi pembeda.
Kelompok teroris pun menyadari bahwa ide adalah dasar yang membentuk merek dan membuat tampak berbeda dengan kelompok teroris yang lain. ISIS sebagai sebuah kelompok secara rutin mempublikasikan ide-ide radikal melalui majalah, membentuk citra guna menjangkau audiens yang ingin mengenal atau mendekatkan pada apa yang mereka inginkan. ISIS mendirikan pusat media Al Hayat yang mempublikasikan majalah dengan halaman-halaman berwarna, rata-rata 61 halaman, dan didistribusikan dalam bentuk PDF, sasarannya adalah audiens berbahasa Inggris di Eropa dan Amerika Serikat.
Produk ide berbentuk majalah yang dipublikasikan Al Hayat bernama Dabiq, nerujuk kepada sebuah nama desa di sebelah utara Suriah dimana menurut ISIS adalah sebuah tempat terjadinya perang antara Muslim dan musuh-musuhnya sebelum kiamat. Sejak Juli 2014, Dabiq walaupun tidak secara rutin terbit, selalu menampilkan isu-isu terkait ide yang mereka usung sejak edisi perdana yaitu “The Return of Khilafah”, yang menggambarkan sebuah peta semenanjung Arab tanpa batas wilayah yang memisahkan antar negara, lima hari setelah kelompok militan tersebut didirikan dengan nama ISIL/ISIS mendeklarasikan sebuah wilayah dengan hukum Islam bernama “Islamic State”/Negara Islam. Dabiq biasanya memuji serangan teror di dunia, seperti serangan di San Bernardino, California, membenarkan pembunuhan terhadap Muslim Syiah dan ulama Arab Saudi, menampilkan obituari tentang tewasnya “Jihadi John”, seorang FTF (Foreign Terrorist Fighter), atau membuat halaman muka tentang serangan teror di Paris dengan judul “Just Terror”/Teror Yang Adil.
Pola komunikasi ide ISIS melalui majalah Dabiq bertujuan menurunkan semangat yang dianggap musuh bagi mereka dan menaikkan semangat para pendukung dan simpatisan mereka. Sedangkan pusat media ISIS yaitu Al Hayat bertugas melawan narasi lawan mereka dengan penjelasan-penjelasan yang bernuansa keagamaan, politik, dan sekaligus militer melalui referensi ajaran keagamaan menurut versi mereka. Apa yang Dabiq tampilkan bukan hanya sekadar berita, melainkan sebuah bentuk dari public relations atau kehumasan, mengkomunikasikan ide dan merek dekat kepada publik. Pembeda yang dilakukan media ISIS adalah dengan narasi yang telah dipilih dan dikembangkan dengan tujuan melekatkan ide kepada publik yang menerima pesan, seperti menggunakan bahasa Inggris, menterjemahkan tulisan Arab ke dalam alfabet supaya memahami konsep Islamis. Tidak lupa pula budaya pop yang digunakan dalam tampilan majalah dengan mencontoh gaya barat. Tidak hanya menampilkan miitan ISIS yang memegang senjata, tetapi juga dokter, insinyur, dan latar belakang profesional lainnya yang diajak untuk ikut serta dalam perjuangan mewujudkan khilafah.
Biasanya, Dabiq di halaman terakhirnya akan mengarahkan narasi kepada pembacanya untuk bergabung dengan ISIS. Salah satu cara melalui gambaran alam yang berhubungan dengan kedamaian dan surga melalui kutipan “Dukungan dari Allah”, tujuannya supaya pembaca merenungkan peran mereka di dunia untuk mencapai surga yang didambakan. Dabiq terus membangun merek dari konsep jihad dengan sasaran yang jelas, trend rekrutmen teroris yang terjadi lewat daring/dalam jaringan (online).
Foto: Dabiq
Bagaimana “Terorisme” Dikomunikasikan? (Bagian Pertama: Majalah)
Otherby Boaz Simanjuntak 1 Juni 2019 9:41 WIB
Komentar