Tentu kita tak pernah menginginkan negara ini mengalami konflik serupa dengan negara Timur Tengah. Hastag #jangansuriahkanindonesia sempat beredar di media sosial pada November 2018 dimana saat itu ada aksi dari respon pembakaran Bendera di Tasikmalaya. Banyak pihak yang menganggap hal itu berlebihan karena sesungguhnya Indonesia tidak segenting itu.
Hal ini berlanjut ketika kemeriahan Pesta Demokrasi (dan kericuhannya) memang paling terasa di sekitar pusat Ibukota. Lalu, apa hubungannya dengan Suriah?
Kita akan kembali ke 19 tahun lalu. Pada tahun 2000, Bashar Assad yang baru berusia 34 tahun, menduduki kursi kepresidenan menggantikan ayahnya, Hafez Al-Assad karena meninggal dunia. Dalam kampanyenya, Bashar menjanjikan pemerintahan anti korupsi, terbuka, liberalisasi ekonomi dan kebebasan politik. Pada awal kepemimpinan, Bashar melakukan peremajaan di tubuh militer dan pemerintahan. Ini sangatlah berbeda dengan ayahnya yang penuh dengan KKN.
Shmuel Bar dalam bukunya Bashar’s Syria : The Regime and its Strategic Worldview menyebutkan bahwa Bashar menitikberatkan kepada kebijakan ekonomi dan kesejahteraan sehingga ia menghadirkan teknokrat dan insinyur baru di Suriah. Berbeda dengan ayahnya yang lebih sering melakukan tindakan refresif dalam mempertahankan rezim. Bashar juga menerapkan hukum islam dan peradilan syariah di Suriah.
Namun, keterbukaan informasi masa Bashar Al Assad justru menjadi boomerang akan ketidakpuasan publik terhadap ayahnya. Forum diskusi yang mulai dibuka langsung ramai diadakan di berbagai warung kopi. Diskusi ini dipelopori oleh sarjana-sarjana Suriah lulusan Eropa. Tak lama, 7 orang ditangkap karena berencana melakukan makar yang dikenal sebagai Damascus Spring. Satu dekade kemudian, facebook diramaikan dengan fanpage bernama “The Syrian Revolution 2011 : Syrian Revolt Bashar Al-Assad” yang disukai 41.000 orang dalam 1 bulan. Kemudian disusul dengan aksi demonstrasi besar bernama “The Day of Dignity” pada 16 Maret 2011. Sayangnya Al Assad langsung menurunkan 41st special forcesdan 47th special forces di Deraa dan 35th special forces di al-Dreij untuk mencegah perluasan konflik. Pada 22 April 2011, BBC mengeluarkan laporan bahwa ada 72 demonstran ditembak oleh aparat. Hal itu dibantah oleh pemerintah.
Adanya pertarungan opini di facebook, ditambah dengan keterlibatan media asing membuat kondisi Suriah semakin kacau. Pemerintah Suriah pun melakukan aksi refresif dan tidak melakukan counter terhadap informasi yang ada sehingga bias informasi semakin terjadi bahkan tidak jelas berapa korban tewas akibat konflik sejak 2011 hingga saat ini. Semua pihak saling klaim dengan angka terbesar. Kekacauan ini dianggap sebagai status quo oleh pihak ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) pada tahun 2014 dimana kemudian mereka mendeklarasikan diri di tanah Suriah pada 2014.
Perbedaan paling mencolok antara Pemilu 2014 dan 2019 adalah kehadiran media sosial yang masif. Saya ingat betul, tante saya yang 2014 masih belajar menggunakan media sosial, tahun 2019 justru menjadi sangat aktif dan penyebar informasi dari media sosial ke grup whatsapp keluarga. Ketika saya bergosip dengan teman sepermainan, ternyata emak-emak yang lain juga melakukan hal yang sama.
Secara bersamaan, media sosial bisa sangat membantu, namun bisa juga membahayakan. Saya sih kadang tak habis pikir dengan produsen kabar bohong. Kok bisa mereka secara sadar melakukan kebohongan? Karena sayangnya mereka yang menyebarkan kadang tidak tahu kalau yang disebarkan adalah kabar bohong. Dampaknya? Merebaknya insecurities.
Apa dampak insecurities? Tentu orang akan menganggap orang lain sebagai ancaman, sehingga orang tersebut akan membenci pihak tertentu. Karena hoax/ kabar bohong ini laku kemudian itu diproduksi lagi dan lagi. Semakin banyak orang yang percaya karena ini digaungkan secara terus menerus dan akhirnya ada polarisasi yang terbentuk. Mereka yang tidak ikut membenci dianggap bukan bagian dari mereka, bahkan dianggap sebagai ancaman juga. Kebencian ini semakin merebak dan ini potensial untuk memicu aksi kekerasan.
Apa yang terjadi di Indonesia memang tidak semasif di Suriah (semoga). Mengapa? Suriah melakukan tindakan refresif sehingga ada kemarahan lebih sehingga rakyat merasa berhak melakukan perlawanan. Ini diperparah dengan kondisi negara tetangga yang juga berkonflik. Sedangkan Indonesia tidak demikian. Berikut tabelnya agar kita lebih mudah memahami
Kendati demikian, Indonesia perlu bersyukur bahwa kita hidup di antara keberagamanan yang telah menjadi keniscayaan di Indonesia. Selama kita bisa memahami keberagaman ini baik dari sisi RAS maupun pendapat, maka kita tidak perlu khawatir akan konflik. Penerimaan keniscayaan ini harus dimulai dari diri kita sendiri untuk mau mencari tahu validnya informasi dan menenggelamkan benci diantara kita.