Rusuh Jakarta Mei 2019, Menilik Perdebatan Panjang Din Wa Daulah di Republik ini (Bagian 4-Habis)

Other

by Eka Setiawan

Setelah Orde Baru tumbang, perdebatan din wa daulah kembali muncul. Kalangan Islam politik menuntut peninjuan kembali Piagam Jakarta dalam Sidang Istimewa tahun 1999 yang mengamandemen UUD 1945.

Pada masa reformasi, perkembangan umat Islam Indonesia dalam memandang hubungan Islam dan negara terbagi dalam tiga aliran.

Pertama, aliran integralistik atau integratif. Mereka adalah kalangan Islam politik yang memandang bahwa praktik kenegaraan dan sistem politik sebuah negara bagian dari pengamalan komprehensif syariat Islam.

Kedua, aliran simbiotik atau substantik. Mereka memandang bahwa Islam tidak mewariskan bentuk negara tertentu, namun Islam mengajarkan berbagai etika dalam bernegara. Model negara manapun bisa digunakan untuk mengaplikasikan nilai-nilai Islam.

Ketiga, aliran sekularistik. Mereka yang melihat Islam dan negara tidak memiliki hubungan sama sekali.

Perkembangan selanjutnya, muncul kelompok-kelompok teror yang mengusung ideologi Islam politik.

Masa transisi demokrasi yang rentan konflik mendorong munculnya gerakan-gerakan radikal-terorisme. Mereka membawa misi menggugat Pancasila dan UUD 1945 serta menolak sistem demokrasi dan kapitalisme.

Mereka secara garis perjuangan memiliki alur sejarah dari gerakan NII di era Sukarno dan gerakan-gerakan Timur Tengah di era Soeharto.

Mereka sudah tidak lagi mencita-citakan Negara Islam Indonesia tetapi mencita-citakan negara Islam di Indonesia dengan mendirikan Khilafah Islamiah. Mereka yang kemudian disebut sebagai radikal Islam transnasional.

Fenomena di era reformasi ini, pelaku-pelaku terorisme yang muncul pada masa transisi adalah bentuk nyata dari kelompok anti Pancasila dan anti demokrasi. Mereka tidak ada agenda untuk masuk dalam parlemen. Mereka mencita-citakan berdirinya Khilafah Islamiyah yang bersifat pemerintahan universal.

Kelompok pendukung khilafah disebut sebagai gerakan radikalisme Islam. Mereka meneriakkan syariat Islam dan pengembalian Piagam Jakarta.

Di era Soeharto, mereka tidak memiliki panggung untuk menyuarakan aspirasinya. Beberapa kalangan radikal tersebut antara lain; Dewan Dakwah Islam, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Laskar Jihad (LJ), Forum Komunikasi Ahlusunnah Wa al Jamaah (FKAWJ), Front Pembela Islam (FPI), Jamaah Ikhwan al Muslimin Indonesia dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

Azyumardi Azra menegaskan bahwa yang dimaksud dengan radikalisme Islam mencakup ide, pemikiran, ideologi dan gerakan Islam yang mengarah kepada aktivitas intimidasi, kekerasan dan teror. Baik itu karena doktrin keagamaan, membela diri, maupun bentuk respon terhadap lawan politik yang ditunjuknya. Biasanya mereka berbasis pada alasan perlawanan terbuka terhadap kebijakan politik dan ekonomi imperialisme Barat, serta dominasi dan hegemoni kebudayaan yang merugikan kaum muslim.

Mereka dapat dikatakan sangat tegas terhadap perjuangan penerapan syariat Islam di Indonesia, anti terhadap berbagai produk-produk pemikiran dari Barat, termasuk demokrasi dan HAM, serta termasuk sangat kritis terhadap kebijakan Amerika Serikat di Timur Tengah dan negara-negara muslim lainnya. (Saefudin Zuhri; Deradikalisasi Terorisme: Menimbang Perlawanan Muhammadiyah dan Loyalitas Nahdlatul Ulama, Jakarta, 2017: Daulat Press)

Munculnya gerakan pendukung Khilafah Islamiah, secara umum ada tiga alasan penyebabnya.

Pertama, perkembangan ekstermisme dan radikalisasi kelompok Islam pasca Orde Baru sebagai dampak ketidakefektifan kinerja pemerintah dalam merespons isu sensitif terkait umat Islam. Kondisi tersebut membuka peluang terbentuknya kelompok-kelompok Islam radikal.

Kedua, faktor lingkup dan batasan demokrasi menjadi persoalan serius. Hal ini diwujudkan dengan menjamurnya tuntutan formalisasi syariat Islam di berbagai daerah yang mengatasnamakan demokrasi.

Ketiga, gerakan radikalisme pasca Orde Baru disebabkan juga dari faktor eksternal. Perkembangan situasi sosial, politik, ekonomi, budaya baik nasional atau internasional memberikan kontribusi bagi menguatnya ideologi radikalisme di kalangan umat Islam Indonesia.

Untuk mencapai tujuannya, metodenya bermacam-macam. Mulai dari cara damai sampai cara kekerasan. Propaganda politik dnengan cara damai dilakukan HTI, Jamaah Tarbiyah atau Harokah Ikhwanul Muslimin.

Sedangkan cara vandalisme atau premanisme dengan melakukan razia lokasi yang dianggap tempat maksiat biasa dilakukan oleh FPI. Cara kekerasan lain adalah dengan melakukan aksi-aksi terorisme yakni pengeboman atau penembakan oleh kelompok Jamaah Islamiyah (JI).

FOTO: EKA SETIAWAN

Komentar

Tulis Komentar