Rusuh Jakarta Mei 2019, Menilik Perdebatan Panjang Din Wa Daulah di Republik ini (Bagian 3)

Other

by Eka Setiawan

Tulisan sebelumnya, telah dibahas adanya perdebatan din wa daulah alias agama dan negara, saat jelang kemerdekaan Republik Indonesia. Ternyata, perdebatan masih terus ada.

Perdebatan din wa daulah kembali dibahas dalam Sidang Konstituante tahun 1955. Anggota sidang adalah mereka yang dipilih melalui pemilihan umum yang diselenggarakan 15 Desember 1955.

Badan Konstituante berjumlah 514 orang anggota, yang terdiri dari anggota partai politik, golongan dan aliran. Selain itu, ada 30 orang wakil golongan minoritas yaitu keturungan Tionghoa (12 wakil), wakil Indo – Eropa (12 wakil), dan wakil wilayah Irian Barat (6 wakil) yang pada waktu itu masih diduduki Belanda.

Pemilu untuk memilih anggota Konstituante diikuti lebih dari 39 juta pemilih, yaitu 91,54persen dari rakyat yang menggunakan hak suara. Sisanya yang tidak menggunakan hak suara karena meninggal pada kurun waktu pendaftaran sampai pemilihan dan pemberontakan yang sedang berlangsung di beberapa wilayah.

Dalam  sidang tersebut terbagi dalam dua kubu. Yakni; Kubu Pancasila dan Kubu Islam. Selain pertentangan antara Blok Islam dan Blok Pancasila mengenai dasar negara dalam sidang konstituante, ada konteks di luar sidang yang juga memengaruhi sikap politik dari setiap kekuatan politik dan partai-partai politik dalam merumuskan dasar negara.

Salah satu yang paling penting adalah adanya pergolakan – pergolakan daerah yang menentang pemerintahan pusat, seperti pemberontakan Darul Islam (DI)/Tentara Islam Indonesia (TII), Republik Maluku Selatan (RMS), Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), dan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) yang memengaruhi sikap politik Sukarno.

NU memiliki kekuatan politik yang besar dalam memperjuangkan Islam sebagai dasar negara. Dalam dokumen Penafsiran Tentang Prinsip-Prinsip Partai pada kongres September 1954, NU mengajukan Islam sebagai dasar negara.

Hal ini karena pandangan NU, Islam memiliki ketegasan dalam meletakkan hukum persamaan di antara manusia yang tidak membedakan manusia atas dasar kekayaan dan melarang sikap ashobiyah (fanatisme primordial).

NU juga meyakini bahwa Islam memiliki piagam yang mengatur kehidupan yang sentosa, sejahtera, aman dan damai, yang sudah pernah dibuktikan dalam masa sejarah dari Andalusia sampai Tiongkok.

Dewan Konstituante yang dibentuk untuk menyelesaikan tugas menyusun konstitusi dasar negara belum berhasil merumuskan dan menyelesaikan pekerjaannya.

Dalam sudut pandang normatif, ketidakberhasilan ini disebabkan kegagalan mencapai mayoritas duapertiga suara untuk menetapkan dasar negara. Komposisi kekuatan politik yang bertarung dalam Dewan Konstituante tidak ada yang mampu mencapai mayoritas duapertiga sebagaimana diamanatkan UUD 1945.

Presiden Sukarno kemudian membuat dua kebijakan untuk menyelesaikan ketidakstabilan situasi saat itu.

Pertama, mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Isinya pembubaran Badan Konstituante hasil Pemilu 1955 dan penggantian UUD dari UUD Sementara 1950 ke UUD 1945.

Kedua, pemerintah Sukarno mengeluarkan Undang-Undang nomor 11/PNPS/1963, tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi. UU ini bertujuan untuk menyelesaikan gerakan makar yang terwadahi dalam gerakan Negara Islam Indonesia (NII) pimpinan SM. Kartosoewirjo. Sedangkan penanganan gerakan radikal selama pemerintahan Sukarno adalah dengan operasi militer. (Lihat Saefudin Zuhri; Deradikalisasi Terorisme: Menimbang Perlawanan Muhammadiyah dan Loyalitas Nahdatul Ulama, Hlm 48-50. Jakarta, 2017, Daulat Press)

Di masa Orde Baru, Soeharto menerapkan kebijakan mematenkan Pancasila sebagai ideologi negara dan wajib diamalkan oleh warga negara.

Ini strategi agar tidak mengulang situasi sama di masa Orde Lama dan mewujudkan pembangunan nasional.

Presiden Soeharto meyakni syarat keberhasilan pembangunan Indonesia adalah menciptakan stablitas nasional.

UU nomor 11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi digunakan kembali oleh Soeharto untuk menumpas gerakan-gerakan yang berpotensi mengganggu stabilitas nasional.

Pelaksanaannya, rezim Orde Baru menggunakan cara-cara represif dan operasi intelijen, dari mulai penculikan, penangkapan, tembak ditempat oleh penembak misterius dan cara-cara lainnya. Secara umum, target tindakan represif rezim Soeharto adalah mereka yang berasal dari kalangan Islam politik dan komunis.

Bersambung...

 

FOTO EKA SETIAWAN

Komentar

Tulis Komentar