Amuk Massa: Apa dan Bagaimana Bisa Terjadi?

Other

by Boaz Simanjuntak

Pasca pengumuman hasil rekapitulasi nasional pemilu 2019 pada tanggal 21 Mei dinihari membuat keadaan berubah dalam beberapa hari setelahnya. Pihak yang tidak puas dengan hasil pemilu 2019 lalu melakukan unjuk rasa di Bawaslu, namun keadaan berubah menjadi rusuh setelah pihak yang berunjuk rasa membubarkan diri. Kita masih percaya, saat pihak yang tidak puas selesai melakukan haknya yang dilindungi oleh undang-undang, semuanya berjalan baik. Namun, kenyataannya berbeda, amuk massa, kumpulan perusuh yang membuat berhari-hari publik mendapat suguhan tontonan dengan konten kekerasan yang disiarkan langsung. Media pun bingung untuk menentukan narasi, massa yang berunjuk rasa atau perusuh. Mari kita tidak terjebak dalam kontestasi pilihan politik yang terjadi di kehidupan nyata dan di media sosial, dengan mulai mengajukan pertanyaan ”Mengapa rusuh di beberapa tempat setelah unjuk rasa selesai?”

Massa punya tujuan yang sama, kumpulan yang terdiri dari berbagai kalangan, dan sudah ditentukan waktu serta tempat untuk berkumpul. Dalam konteks yang sederhana tentang massa, kita belum menemukan, apa perbedaan dari kelompok yang berunjuk rasa dengan kelompok perusuh? Karya klasik Gustave Le Bon, “The Crowd: A Study of the Popular Mind” bisa kita jadikan acuan awal sebagai pembeda, mana kelompok yang murni perjuangkan haknya dan mana kelompok yang berniat untuk rusuh. Le Bon menjelaskan bahwa jika terjadi kumpulan massa akan timbul empat perilaku (yang bisa berpotensi melakukan kekerasan), yaitu: anonimity (tidak kenal satu sama lain), contagion (penularan), convergence (keterpaduan), dan suggestibility (mudah dipengaruhi). Amuk massa adalah perpaduan keempat hal tersebut, mulai sejak saat berkumpul karena tidak kenal satu sama lain sehingga minim tanggung jawab kolektif, tertular perasaan atau sikap yang tidak rasional dalam kerumunan, dilanjutkan dengan kesamaaan emosi karena ketidaksukaan terhadap satu pihak yang dianggap sebagai musuh, hingga struktur kepemimpinan kerumunan yang tidak jelas dan tidak ada yang menjadi panutan sehingga potensial diajak melakukan tindakan kekerasan.

Orang yang dalam kerumunan massa biasanya kadar adrenalin dan dopamin sedang tinggi, karena terlalu bersemangat dan dalam tingkat kewaspadaan yang tinggi. Jika kedua kadar tinggi, orang bisa menjadi tidak rasional dan mengalami rasa melampaui estimasi diri sendiri. Daerah dimana amuk massa terjadi adalah ruang publik, seperti jalan raya, perkantoran, trotoar, taman, dan masih banyak lagi yang bukan wilayah privat. Saat amuk massa terjadi, ruang publik, mengutip Jürgen Habermas, tidak akan berperan semestinya sebagai ruang partisipatif yang sifatnya non diskriminasi, sebagai ruang terbuka untuk semua, dan sebagai ruang berpikir kritis.

Sebagai institusi yang memulihkan ketertiban publik pasca amuk massa, institusi keamanan harus mampu mengidentifikasi individu yang menjadi dalang amuk massa dan jangan memperlakukan individu dalam kerumunan massa sama rata. Saat ketertiban publik telah pulih, maka ruang publik juga harus dipulihkan. Sehingga, sikap saling menghargai dan tahu diri, bahwa banyak kepentingan di luar kepentingan pribadi dan kepentingan kelompok yang bertemu satu sama lain, terjadi kembali. Prinsip non maleficence bisa kita gunakan dalam mencegah aksi kekerasan dalam bentuk kesadaran diri, yaitu: pertama, do not harm/jangan menyakiti, dan kedua, do not further harm/jangan menambah penderitaan. Bila kita hubungkan dengan kepuasan, dimana otak kita baru berhenti setelah mencapai puncak kepuasan, seperti makan yang terpuaskan saat kenyang, maka pada amuk massa entah apa yang membuat terpuaskan?

Foto: dok.Okezone

Komentar

Tulis Komentar