Rusuh Jakarta Mei 2019, Menilik Perdebatan Panjang Din Wa Daulah di Republik ini (Bagian 2)

Other

by Eka Setiawan

Pada tulisan sebelumnya, telah dibahas ketika Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang kemudian membentuk Piagam Jakarta.

Setelah tugasnya rampung, BPUPKI dibubarkan, diganti Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Nah, saat sidang PPKI, terhadi perubahan kesepakatan yang sudah tertera dalam poin-poin Piagam Jakarta. Perubahan tersebut ada 4 poin.

Pertama, kata Mukaddimah diganti Pembukaan. Kedua, anak kalimat dalam Piagam Jakarta berbunyi “Berdasarkan kepada ke-Tuhan-an dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diganti menjadi “Berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ketiga, pasal 6 ayat 1 “Presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam” dicoret. Dan keempat, konsekuensi dari perubahan nomor 2 maka Pasal 29 ayat 1 berbunyi “Negara berdasarkan atas ke Tuhanan Yang Maha Esa”. (Lihat Saefudin Zuhri; Deradikalisasi Terorisme: Menimbang Perlawanan Muhammadiyah dan Loyalitas Nahdatul Ulama, Hlm 48-50. Jakarta, 2017, Daulat Press)

Berbeda dengan KH Hasyim Asy’ari, tokoh-tokoh Muhammadiyah khususnya Ki Bagoes Hadikoesoemo dengan tegas menolak adanya perubahan tersebut.

Penghapusan beberapa poin dalam Piagam Jakarta oleh kalangan nasionalis sekuler dianggap sudah menyalahi kesepakatan BPUPKI.

Dalam situasi kritis itulah, Moh.Hatta meminta Kasman Singodimedjo untuk membujuk Ki Bagoes agar menerima perubahan tersebut.

Kasman mengingatkan Ki Bagoes bahwa bangsa Indonesia sekarang posisinya terjepit antara pemerintahan kolonial Jepang dan bayang-bayang kembalinya Belanda.

Hingga akhirnya dengan bijaksana Ki Bagoes mengalah dan menerima perubahan tersebut demi kemenangan cita-cita bersama, yakni tercapainya Indonesia merdeka sebagai negara yang berdaulat, adil makmur, tenang tenteram diridhai Allah SWT.

Sikap yang ditunjukkan oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah, NU, serta tokoh-tokoh Islam lainnya tidak serta merta membuat keinginan umat Islam Indonesia merasa terwakili.

Sikap mengalah yang ditunjukkan oleh perwakilan kalangan Islam itu justru membuat beberapa tokoh di luar sidang merasa kecewa. Inilah kondisi yang menciptakan gerakan radikal Islam.

Menurut Martin van Bruinesse dalam Genealogies of Islam Radicalsm in Post Soeharto Era menyebutkan bahwa akar radikalisme Islam di Indonesia dapat dilacak dalam dua bentuk gerakan politik Islam yang muncul pada tahun 1942 – 1945. Gerakan tersebut ada yang muncul melalui Partai Masyumi dan Darul Islam.

Radikal dalam perspektif politik berbeda dengan perspektif agama. Dalam istilah agama, radikal memiliki sifat netral bahkan positif sebagaimana radikal dalam pemahaman filsafat.

Radikal diartikan sebagai mengakar dalam mencari kebenaran. Namun, berbeda jika ditambah “isme” dalam kata radikalisme yang berarti merujuk pada suatu paham atau ideologi yang radikal.

Sehingga makna radikal telah berubah khususnya dalam perspektif politik.

Radikalisme merupakan paham atau ideologi yang mengakar dalam ide-ide politiknya untuk melakukan perubahan atas kondisi yang ada, baik ekonomi, sosial ataupun politik. Dalam konteksi ini, merujuk pada gerakan-gerakan yang menginginkan perubahan mendasar atas status quo.

Terkait hal ini, gerakan radikalisme di Indonesia merujuk pada gerakan yang menginginkan perubahan mendasar atas ideologi negara. Kalangan Islam yang kecewa akibat perubahan tersebut adalah kalangan Islam politik.

Mereka mengusung cita-cita negara yang berlandaskan syariat Islam. Partai Masyumi mewakili kelompok-kelompok yang menginginkan perubahan melalui jalur parlementer, sedangkan Darul Islam (DI/TII) melakukannya dengan pendirian Negara Islam Islam Indonesia.

Bersambung...

FOTO: EKA SETIAWAN

Komentar

Tulis Komentar