Menakar Omongan Pokoknya Saya Paling Benar, yang Lain Pasti Salah

Other

by Eka Setiawan

Hidup bagai pelangi, mencat hati

Warna warni, merah, biru, hijau, ungu dan kuning

Terlukis gelap langit

Keseimbangan pun pergi

Hitam putih, atas bawah, kanan kiri

Itu penggalan lagu Slank, berjudul Yin Yang, album di tahun 1999.

Saya kutip lirik lagu milik grup musik yang bermarkas di Gang Potlot Jakarta itu bukan berarti saya pendukung #01 atau #02 yaa. Sebabnya, ya salah satunya Slank itu yang membuat saya lulus sarjana di Undip Semarang. Nulis skripsinya tentang Slank dan Slankers.

Ada yang mau disampaikan, melalui lirik lagu itu, istilahnya nabok nyileh tangan wkwkwk cari sendiri artinya, itu bahasa Jawa.

Kehidupan itu akan lebih indah kalau warna warni.

Nggak percaya? ya nggak papa sih. Tapi coba aja bayangkan, misalnya pelangi itu satu warna aja. Misal; hitam. Betapa mengerikannya ketika sehabis hujan di siang bolong, tetiba di langit ada bentuk yang menyerupai bando warnanya hitam legam. Apa nggak serem tuh?

Apalagi kalau pelangi warnanya cuma merah? Lebih serem lagi tuh. Bisa dituduh mendukung salah satu paslon Pilpres.

Nah, pelangi ini yang saya analogikan sebagai kehidupan, jadi indah karena dia beraneka warna. Kalau di zaman SD, dihapalkannya warna pelangi itu mejikuhibiniu. Itu bukan mantra ya, tapi singkatan dari: merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu.

Di YouTube ruangobrol.id, postingan terbarunya, intinya; orang rentan jadi teroris kalau nggak mampu menghargai perbedaan. Itu kata Mister Noor Huda Ismail.

Betul juga, kalau merasa dirinya paling suci, paling benar, pokoknya merasa yang paliiiiiing, yang lain salah. Nah itu bisa jadi embrio orang berbuat teror ke orang lain.

Entah itu berupa chat WhatsApp, mengkafir-kafirkan, merasa diri atau kelompoknya itu yang betul-betul ada di jalan Tuhan, sampai melakukan perbuatan kerusakan. Pemboman, penembakan, nyerang pakai senjata tajam.

Intinya bertindak atas nama kebenaran (yang dipahami sendiri secara serampangan), sehingga merasa perbuatan kerusakan yang dilakukan dia atau kelompoknya itu bukan sesuatu yang salah. Mengebom orang yang beribadah (yang tidak sealiran), itu tidak apa-apa ((((pemahaman macam apa ini))))

Pada konteks itu, perbedaan seolah-olah jadi alasan bebas melakukan pembantaian (kalimat ini terinspirasi lagunya Lobow berjudul Peace-silakan cari di YouTube, enak kok lagunya). Kalau perbedaan jadi alasan membantai, kan beratt sodara-sodaraaa! Jangan ah, mosok sesama ras manusia saling membantai.

Kembali ke tadi, perbedaan mestinya dirayakan. Kita menghormati orang lain beribadah berbeda dengan cara kita, meyakini Tuhan yang berbeda, nggak rugi kok. Menghormati bukan berarti kita mengikuti keyakinannya.

Saling bantu di antara perbedaan juga luar biasa. Bagaimana Muslim membantu mengamankan tempat ibadah orang Nasrani yang sedang merayakan hari besar mereka.

Saling bantu di antara perbedaan juga seperti; membantu memberi sesuatu kepada para Biksu ketika melakukan ritual Pindapata jelang Tri Suci Waisak (ketika para Biksu membawa periuk logam menyusuri jalanan). Itu maknanya juga sangat dalam, ajaran Sang Buddha Gautama, tentang derma.

Itu sedikit contoh saja, masih banyak contoh yang lainnya tentang merayakan perbedaan. Membaur bukan berarti melebur, menghormati bukan berarti meyakini keyakinannya.

Salam Ras Manusia!

 

Sumber foto: https://www.rancahpost.com/wp-content/uploads/2019/02/Potret-Biksu-Bantu-Pria-Berpeci-Wudhu-Viral-di-Media-Sosial-696x435.jpg

 

 

Komentar

Tulis Komentar