MEMAHAMI GENEALOGI JARINGAN TERORIS

Other

by Boaz Simanjuntak

Salah satu mata pelajaran yang nilainya baik saat saya menempuh pendidikan di sekolah menengah atas adalah Biologi. Saya tidak asing dengan Biologi, karena orang tua saya adalah seorang periset Biologi, dan salah satu isu yang didalami beliau adalah tentang genetika, kromosom, dan DNA (Deoxyribo Nucleic Acid). Bagi saya, TUHAN itu hebat, menciptakan ketiga hal tersebut yang identik dengan seluruh informasi tentang manusia. Tubuh ini bagaikan ruang penyimpanan bukti otentik ciptaan Sang Maha Kuasa yang akan menunjukkan siapa anda dan saya dengan segala keunikan masing-masing.

Begitu pula dalam studi terorisme, banyak sekali informasi yang unik dan menarik untuk dipelajari mulai dari paham, individu, dan pola. Muncul sebuah pertanyaan “Apakah jaringan teroris tumbuh dan berakhir berhubungan dengan genealogi, garis keturunan manusia dalam hubungan sedarah?”. Jawabannya, bisa ya atau bisa tidak. Ya, karena ada hubungan sedarah dan tidak, karena “sedarah” dengan perjuangan yang diyakini.

Brian Michael Jenkins, penasihat senior untuk Presiden RAND, sebuah organisasi riset yang terkenal di Amerika Serikat, memaparkan dalam “Generations of Terrorism”, “…adalah hal yang memungkinkan bagi orang Palestina yang militan untuk terus berharap bisa mengalahkan Israel yang dianggap penjajah... Musab al Zarqawi, pemimpin Al Qaeda di Irak, warga Yordania keturunan Palestina yang pergi ke wilayah konflik Afghanistan tahun 1990 dan bertemu dengan Osama bin Laden yang mempunyai rencana membentuk jaringan jihadis global. Tahun 1992, Zarqawi kembali ke Yordania, membentuk sel teroris namun gagal dan dipenjara. Tahun 1999, setelah bebas dari penjara, Zarqawi berangkat ke Irak, berencana melakukan aksi teror melawan pemerintah Yordania. Tahun 2004 terlibat dalam rencana teror markas intelijen Yordania. Dan, setelah tewas tahun 2006, diteruskan aksi terornya di Irak dan Yordania serta serangan roket di Aqaba tahun 2010.”

Penjelasan tentang Musab al Zarqawi memperlihatkan keterkaitan antar individu, antar organisasi, dan rentang waktu berpuluh tahun akibat konflik berkepanjangan. Rencana teror di Amman tahun 2012 adalah jalan panjang sejak tahun 2005, saat terjadi ledakan bom di sebuah hotel di Yordania. Jumlah teroris asal Palestina yang bertambah pasca 2006, terinspirasi dari Zarqawi. Selain itu, gabungan veteran dari konflik Afghanistan, Irak, Libya, dan terakhir di Suriah, membuat jaringan jihadis seluruh dunia jumlahnya bertambah. Inilah contoh “sedarah” dalam perjuangan.

Dalam “The Four Waves of Modern Terrorism”, David C. Rapoport menjelaskan mengenai gelombang terorisme yang dibedakan dari rentang waktu, yaitu: gelombang pertama, ditandai dengan kejadian Vera Zasulich melukai seorang komandan polisi Rusia yang melakukan kekerasan terhadap tahanan politik. Vera mengklaim dirinya sebagai seorang teroris dan tujuannya adalah bentuk perlawanan sipil terhadap rezim otoriter. Gelombang kedua, identik dengan perjuangan merebut teritori supaya mempunyai wilayah politik tersendiri. Pada gelombang kedua bermunculan kelompok-kelompok separatis, seperti: IRA (Irlandia Utara). Pada gelombang ketiga, ada hal yang menarik yaitu soal perubahan terminologi dari “freedom fighter” ke “terrorism”, walaupun kelompok-kelompok teror yang melakukan aksi masih terkait dengan perjuangan untuk teritori. Dan, gelombang keempat diisi oleh dua kelompok besar, yaitu Al Qaeda dan ISIS. Gelombang keempat ditandai dengan berkurangnya kelompok teror, penggunaan agama dalam aksi teror, dan tumbuhnya jaringan lintas negara, bisa berbentuk kelompok besar, kelompok kecil, atau bahkan sel teror yang jumlahnya tidak lebih dari lima orang.

Di Indonesia, dalam konteks genealogi, terdapat empat generasi jaringan teroris. Generasi pertama adalah Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) dari tahun 1950-1980. Generasi kedua adalah Jamaah Islamiyyah (JI) dari tahun 1980-2001. Generasi Ketiga adalah "Alumni/Veteran Perang Afghanistan" dari Tandzimul Qaidah Osama Bin Laden dengan Bom Bali I 2002. Generasi Keempat adalah Jaringan ISIS dengan Bom Sarinah-Thamrin 2016 dan Bom Surabaya 2018. Lagi-lagi bisa kita temukan fakta, bahwa ada yang memiliki ikatan garis keturunan sedarah, seperti keluarga Amrozi pada bom Bali I dan keluarga Ditha pada bom Surabaya, serta ada pula yang merasa “sedarah” seperjuangan, seperti alumni Afghanistan, Moro, Ambon, dan Poso.

Membahas genealogi jaringan terorisme hendaknya berhati-hati, jangan sampai orang-orang yang belum tentu ada kaitannya dengan terorisme, walaupun punya hubungan kekerabatan, mendapat stigma. Bagi saya, “Violence solves nothing”, bagaimana dengan anda?

Foto:https://hisham.id/2018/06/contoh-genealogis-dalam-pembentukan-kelompok-sosial.html

Komentar

Tulis Komentar