Kita Adalah Saudara Selamanya

Other

by Kharis Hadirin

Hampir 7 bulan sudah perjalanan gegap gempita kampanye pemilu menghiasi wajah ibu pertiwi. Hari ini, tanggal 17 April 2019, seluruh anak bangsa yang memiliki hak pilih telah menuntaskan hajadnya.

Sorak-sorai dari berbagai pelosok-pelosok desa hingga kota ke kota, tak henti-hentinya untuk saling unjuk gigi mengunggulkan para kandidat sendiri. Capek? Oh, pastinya.

Namun satu hal yang barangkali luput dari pesta democrazy 5 tahunan ini, yakni realitas pemilu yang telah mencederai ikatan silaturahmi.

Bahasa saudara dan kawan karib tak lagi bernilai di mata sendiri. Semuanya seolah raib dan berganti pada situasi yang menempatkan kita pada posisi sebagai kawan ataukah lawan.

Bayangkan, ikatan persahabatan yang mulanya terjalin begitu indah, sampai jarak terpaksa memisahkan satu sama lainnya.

Bertahun-tahun lamanya tak lagi bertatap muka atau pun saling bertegur sapa. Ibarat tertelan rimba hutan belantara.

Tak terkira betapa besar rasa rindu untuk bisa saling menjamah dan bersapa, bertemu kembali dalam nuansa cinta dan suka cita, saling bertukar kisah dan mengenang kembali masa-masa suka dan duka. Masa dimana dahulu sama-sama belajar untuk saling menjaga, mengayomi, nasehat-menasehati, dan saling mengasihi kepada sesama.

Hingga suatu masa, kala persahabatan ini dipertemukan kembali melalui sosial media.

Namun siapa bisa menduga, pertemuan yang harusnya menjadi momentum indah, harus terganjal oleh sekat yang memuakkan dada.

Dua orang sahabat yang tadinya saling mengasihi, lalu muncul dengan warna yang berbeda. Bukan oleh warna kulit atau keyakinan beragama, melainkan oleh perbedaan pilihan calon kepala negara.

Rasa rindu yang tadinya membuncah, tiba-tiba menguap menjadi sentimen untuk saling menghina dan merendahkan martabat saudara lainnya.

Pertemuan yang diharapkan bisa memunculkan tawa dan senda gurau, perlahan redup dan berganti sikap saling curiga. Bahkan tak jarang kalimat sumpah serapah tumpah ruah berbalut rasa benci yang kian membuncah.

Bahasa santun nan meneduhkan yang selama ini terdendang indah, tak lagi mampu menentramkan jiwa sebab ia telah kehilangan makna.

Sejarah mencatat, politik memang selalu menjadi parasit. Di tiap generasi yang telah susah payah dibentuk dan dibina, rusak seketika hanya oleh perbedaan dan ego semata. Dan kini kita menyaksikan sendiri, bagaimana ego politik elektoral berhasil menciptakan sekat dan merusak sendi-sendi persaudaraan yang harusnya kita rayakan setiap saat dengan penuh suka cita.

Seandainya jika boleh berharap, kenapa harus ada pemilu yang akhirnya akan memecah tali ukhuwah yang telah lama terbina?

Ingin rasanya menghempaskan pesta democrazy ini ke tong sampah, lalu mengembalikan masa-masa indah yang telah lama kita rakit bersama. Saat dimana kita menyusuri jalan setapak di tengah hamparan sawah. Tak ada bahasa politik, pemilu, ataupun pilkada/pilpres.

Sebab bahasa kami sederhana, "Akhi, antum sudah hafal berapa juz sekarang?".

Meski waktu kian menggerus usia, tanda guratan-guratan di wajah yang seolah menegaskan bahwa kita tak lagi muda. Namun kita tetaplah seorang santri, tak peduli dimana pun kaki ini berpijak di atas bumi.

Biarlah orang bergaduh akan pilihan politiknya, sementara kita akan tetap menjadi saudara, selamanya.

 

Ilustrasi Gambar: http://www.nu.or.id/post/read/85112/tantangan-santri-generasi-alfa

Komentar

Tulis Komentar