Siapa itu Teroris?

Other

by Rosyid Nurul Hakiim

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menjelaskan arti teroris sebagai orang yang menggunakan kekerasan untuk menimbulkan rasa takut, biasanya untuk tujuan politik. Sebagai penduduk Indonesia, kita tentunya sudah tidak asing lagi dengan kata ini. Apalagi sejak terjadinya Bom Bali 1 tahun 2002 silam. Hingga kini, kata tersebut selalu berseliweran jika ada kejadian yang melibatkan kata yang lain, yaitu ‘bom’.

Namun, dengan pengalaman bersinggungan dengan teroris atau terorisme yang sudah lebih dari 17 tahun ini, tampaknya masyarakat masih saja salah kaprah soal siapa teroris itu. Salah kaprah yang dimaksud adalah masih banyaknya upaya untuk memprofilkan teroris atau mencoba mengira-ngira seperti apakah seorang teroris itu.

Mari kita tengok sejenak apa kata John Horgan, seorang Prosfesor Psikologi yang banyak menulis dan mengkaji soal terorisme. Lewat salah satu jurnal yang sempat dia tulis, ‘From Profiles to Pathways and Root to Routes: Perspectives from Psychology on Radicalization into Terorrism’, Profesor asal Amerika ini pernah mengatakan bahwa sampai saat ini belum ditemukan satu profil teroris. Bahkan upaya untuk melakukan profil pada mereka yang dianggap teroris dari kelompok yang berbeda ataupun di dalam kelompok yang sama, justru belum menemukan hasil.

Pesan dari jurnal yang sudah dituliskan beberapa tahun lalu itu adalah, masyarakat sebaiknya tidak cepat-cepat menuduh kelompok yang menganut pandangan agama tertentu, atau berpakaian dengan gaya tertentu, atau bahkan langsung merujuk pada etnis tertentu. Meskipun mungkin teror yang terjadi melibatkan orang-orang dengan gaya berpakaian tertentu atau dari agama tertentu, belum tentu seluruh orang dengan gaya dan agama yang sama memiliki tendensi yang sama untuk menjadi teroris.

Jonathan Rae dalam jurnalnya yang berjudul ‘Will it Ever be Possible to Profile the Terrosit?’ menyebutkan bahwa membuat profil terhadap seorang teroris itu akan berakhir pada sebuah kegagalan, terutama ketika hanya melihat atau menilai dari satu aspek saja. Meskipun demikan, Jonathan juga meragukan jika profil dilakukan dengan melihat berbagai aspek atau multi-dimensi akan menemui keberhasilan. Sebab, menambahkan aspek-aspek lain dalam membuat profil teroris juga akan semakin melebarkan tuduhan-tuduhan pada kelompok masyarakat yang masuk dalam aspek tersebut.

Profil seorang teroris memang masih penting dan selalu menjadi obsesi bagi penegak hukum. Hal ini mungkin dirasa penting untuk dapat mengantisipasi serangan-serangan teror di masa depan. Namun, bukan berarti masyarakat juga ikut terobsesi terhadap profil ini dan menyematkan tuduhan pada kelompok masyarakat yang lain.

Melakukan penilaian terhadap orang lain adalah salah satu respon alami dari seorang manusia. Ini seperti sebuah mekanisme pertahanan yang menunjukan dimana posisi kita dan dimana posisi orang-orang disekitar kita. Apakah mereka berbahaya atau tidak. Kecenderungan untuk memasukan orang lain dalam kotak-kotak yang kita buat ini yang kemudian menjadi bermasalah.

Penilaian yang serampangan dan tidak berdasar justru akan menjauhkan kita dengan kelompok masyarakat lain dan membuatnya semakin tidak terkontrol. Oleh karena itu, alih-alih membuat macam-macam profil soal siapa yang menjadi teroris, akan lebih baik jika kita merangkul setiap anggota masyarakat di sekitar kita. Upaya ‘merangkul’ bisa mendekatkan setiap elemen masyarakat yang nantinya secara mandiri dapat melakukan pencegahan terhadap terorisme.

Komentar

Tulis Komentar