Ibu penjual bakpia itu kembali melanjutkan transaksi dengan sepasang turis yang lebih tua darinya tetapi masih terlihat energik. Si turis wanita tampak antusias menyimak penjelasan dari ibu penjual bakpia tentang produk-produk yang ia jual dan alasan kenapa harganya segitu.
Sang turis tampak puas dan tidak berusaha menawar. Keduanya lalu membeli 10 kotak bakpia dengan berbagai rasa. Ada rasa original kacang ijo, cokelat, keju, ubi ungu, dan kacang merah.
Menyimak penjelasan ibu penjual bakpia kepada turis yang hendak membeli dagangannya, saya jadi tertarik untuk membelinya. Tetapi karena saya ingin menawar, maka adabnya adalah saya harus menunggu transaksi dengan turis itu selesai. Karena saya tidak ingin ibu itu kehilangan peluang untung yang lebih besar dari sepasang turis tersebut.
Jika saya menawar pada saat transaksi masih berlangsung, maka turis itu pasti akan ikut harga yang saya tawar. Jadi saya menunggu turis itu meninggalkan tempat itu barulah saya mulai nego harga. Saya tahu bahwa harga jual di pedagang di sepanjang kawasan Malioboro rata-rata bisa ditawar kecuali yang ada di toko, bukan yang di pedagang kaki lima.
Dalam proses tawar menawar itulah saya mendapati keramahan, senyum tulus, dan kesopanan ketika harus mempertahankan penawaran. Interaksi itulah yang sebenarnya saya cari, bukan turunnya harga barang yang akan saya beli. Sesuatu yang tidak bisa didapatkan ketika berbelanja di toko atau supermarket.
Setelah memborong bakpia 5 kotak, 50 biji souvenir gantungan kunci 1000an, sepasang sandal Joker, saya pun kembali ke arah Benteng Vredeburg untuk memesan ojek online kembali ke penginapan. Sore hari saya bermaksud kembali lagi untuk petualangan yang lebih seru.
Siang itu memang tujuannya adalah untuk belanja oleh-oleh biar sore hari nanti tidak menenteng barang-barang lagi.
Ketika sampai di sekitar Pasar Beringharjo, seorang ibu yang sudah cukup tua datang menghampiri saya menawarkan tas kain yang terbuat dari kain perca batik yang dijajakannya. Saya paling tidak bisa menolak jika berhadapan dengan orangtua.
Tas yang dibawa itu harganya antara Rp. 20.000 s/d Rp. 35.000. Cukup murah. Dan setelah dipikir-pikir saya memang perlu wadah untuk membawa oleh-oleh yang telah saya beli.
Interaksi tawar menawar pun kembali terjadi. Di sela-sela tawar menawar saya menanyakan mengapa di usia yang sudah senja itu dirinya masih saja bekerja ? Bukankah lebih enak di rumah saja, mengurus rumah atau bermain dengan cucu.
Jawabannya sederhana. Ia mencari kesibukan di pagi hari karena cucu-cucu yang tinggal bersamanya juga sedang sekolah. Selepas Dhuhur barulah ia akan kembali ke rumahnya di kawasan Yogyakarta bagian selatan. Lagipula itu adalah pekerjaan yang telah ia tekuni sejak tahun 1990, atau semenjak ditinggal mati oleh suaminya.
Dari berjualan aneka kerajinan di kawasan wisata itu ia berhasil menyekolahkan anak-anaknya sampai jenjang SMU, bahkan ada yang sampai sarjana karena pintar dan dapat beasiswa. Suatu hal yang sangat disyukurinya dan membahagiakannya, yaitu tanpa kehadiran suami dirinya bisa membekali anak-anaknya dengan pendidikan yang layak dan saat ini masing-masing telah memperoleh kehidupan yang layak.
Wow…luar biasa !
“Apa rahasianya ibu bisa bertahan dan sukses seperti itu ?”, tanya saya di ujung pertemuan karena telah selesai bertransaksi dan puas dengan ceritanya.
“ Sabar dan banyak bersyukur aja nak. Berapapun rizki yang kita dapat itulah bagian kita. Tak perlu iri dengan rizki orang lain atau iri dengan kehidupan orang lain. Semuanya telah memiliki jalannya masing-masing”, jawabnya yang diakhiri dengan senyum ramah dan tatapan mata yang menyiratkan kebijaksanaan.
Dalam hati saya membenarkan perkataan ibu itu. Berapapun rizki yang kita peroleh tapi jika selalu merasa kurang dan selalu iri dengan kehidupan atau rizki orang lain, maka hidup ini akan terasa sempit.
(Bersambung)