Petualangan saya mulai dari kawasan Titik Nol Kilometer Yogyakarta. Saat itu masih jam 9.30 pagi. Suasana masih relatif sepi tetapi geliat sebagai kawasan wisata sudah cukup terasa. Para turis terlihat mulai melintasi pedestrian di seputaran Monument Serangan Umum 1 Maret 1949.
Beberapa tukang becak dan ibu-ibu pedagang asongan tampak mulai berkerumun di salah satu sudut. Mereka sama-sama menunggu kedatangan para wisatawan yang menjadi target pasar mereka dalam meraup rupiah untuk menopang kehidupan keluarga mereka.
Ada sesuatu yang mengusik pikirann saya. Mengapa hampir semua pedangang asongan di pagi itu adalah kaum hawa ? Saya baru menemukan para pedagang lelaki hanya tampak di gerai kaos khas Jogja di kawasan Benteng Vredeburg.
Seorang bapak paruh baya yang sedari tadi duduk di becaknya menunggu penumpang datang menghampiri saya yang sedang asyik mencari hal-hal yang menarik untuk dipotret. Ia menawarkan untuk mengantar saya ke tempat wisata yang lain jika dibutuhkan. Saya iseng menanyakan kenapa pedagang asongan di pagi itu hampir semuanya wanita ?
Ternyata menurut bapak tukang becak itu, kalau pagi sampai siang memang mayoritas ibu-ibu yang berjualan. Di sore hari sampai malam barulah banyak para lelaki banyak yang berjualan di kawasan itu. Dan jumlahnya berkali-kali lipat dari pedagang yang berjualan di pagi itu.
Saya kemudian memberikan selembar pecahan sepuluh ribuan kepada bapak itu setelah saya tanya apakah dirinya sudah sarapan dan jawabannya adalah belum. Alhamdulillah…amal sholeh pertama saya di pagi itu.
Saya kemudian menyusuri pedestrian ke arah utara dengan tujuan untuk mencari oleh-oleh buat anak-anak dan keluarga di rumah. Jalur pedestrian yang cukup rapi dan dilengkapi dengan bangku-bangku untuk berisitirahat sejenak bagi para wisatawan yang melintas. Bangku-bangku itu bederet rapi dengan jarak antar bangku sekitar 10-15 meter di sepanjang jalur pedestrian sampai ujung jalan Malioboro di utara sana.
Keberadaan bangku itu cukup memanjakan para wisatawan karena bisa menggunakannya untuk sekedar berisitirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalannnya menyusuri kawasan itu atau untuk sekedar menikmati pesona tempat itu sambil minum segelas jus buah atau minuman segar lainnya yang banyak dijual di sekitarnya.
Sepanjang pengamatan saya, kawasan itu semakin ramai serta semakin rapi dan tertib untuk urusan penataan para pedagang kaki lima dan fasilitas umum. Tetapi sayangnya kesadaran para wisatawan untuk menjaga kebersihan masih kurang, terutama di kawasan sekitar Titik Nol Kilometer sampai Benteng Vredeburg.
Ketika sedang asyik berjalan sambil melihat-lihat para pedagang kaki lima yang berjualan aneka barang dagangan mulai dari jajanan khas Jogja, kaos, souvenir khas, dan berbagai macam barang lainnya, tiba-tiba dikejutkan dengan sebuah kejadian di depan saya yang memicu reaksi spontan saya.
Yaitu ketika salah satu dari sepasang muda-mudi yang lewat menyenggol tumpukan karton kosong kemasan bakpia milik seorang ibu yang berjualan bakpia yang menyebabkan tumpukan karton itu berhamburan. Spontan saya kemudian membungkukkan badan untuk memungutinya dan merapikannya kembali ke tempat semula, sementara orang yang menjadi penyebab kejadian itu terus berlalu tanpa menghiraukan kejadian itu. Ibu penjual bakpia yang saat itu sedang sibuk melayani pembeli tersenyum ramah dan mengucapkan terimakasih sambil membetulkan letak tumpukan itu agar lebih masuk ke dalam dan berharap tidak tersenggol orang yang lewat lagi.
Kejadian itu membuat saya berpikir, apakah sudah sedemikian parahnya kemunduran akhlak dan adab pada generasi muda kita sehingga seorang anak muda yang menjatuhkan tumpukan karton itu tidak kembali untuk minta maaf dan merapikan kembali apa yang ia jatuhkan itu meskipun ia tidak sengaja menjatuhkannya ?
Ah, itu mungkin kebetulan yang menjatuhkan adalah orang yang kurang pendidikan tentang adab. Generasi muda kita mudah-mudahan masih menjunjung tinggi norma-norma adab dan akhlak sebagai manusia maupun sebagai seorang yang memiliki Tuhan dan percaya adanya surga dan neraka.
(Bersambung)