The Cyber Effect: Sebuah Refleksi Terhadap Rekrutmen Online Kelompok Ekstrimis

Other

by Rosyid Nurul Hakiim

The Cyber Effect, buku karya Dr Mary Aiken ini memang sudah diterbitkan sejak 2016. Namun, buku bergambar kelinci yang sedang melompat ke dalam sebuah lubang ini baru saya tebus tunai di sebuah toko buku di Melbourne, akhir tahun 2018 lalu. Sub judulnya yang menarik perhatian saya. Di sampul buku itu, Mary menuliskan ‘Explain How Human Behaviour Changes Online’ (menjelaskan bagaimana perilaku manusia berubah di dunia maya). Perubahan perilaku ini terasa begitu nyata, apalagi soal orang-orang yang masuk dalam kelompok ekstrimis karena konten di internet.

Buku setebal 400 halaman ini tidak begitu lama saya rampungkan. Cara Mary menyajikan setiap chapter di buku ini menarik. Dia merefleksikan pengalamannya sendiri saat membantu polisi menangani kejahatan siber atau saat menjadi penasehat ahli untuk film seri CSI: Cyber. Kasus-kasus yang dia jadikan contoh juga sangat dekat dengan pembaca. Soal cyberbullying atau soal orang tua yang membunuh anak balitanya karena merasa terganggu saat bermain game online.

Pada bagian pertama buku ini, Mary menjelaskan soal fetishism atau ketertarikan seksual seseorang pada hal-hal yang dianggap kurang lazim. Seperti misalnya tertarik pada sepatu, pada pakaian latex, pada penyiksaan, atau yang lain. Internet, menurut mantan pengajar kriminologi di Universitas Middlesex ini, memberikan peluang bagi para penyuka fetis untuk bisa saling berhubungan. Mereka yang pada awalnya sulit menemukan orang-orang yang memiliki kesukaan yang sama, justru dengan internet mereka dapat berbagi informasi atau bahkan bertransaksi dengan orang di belahan dunia yang memiliki gairah seks yang sama.

Mary menjelaskan soal terbentuknya subculture yang pergerakannya semakin diperkuat oleh internet. Perilaku orang-orang dalam subculture tersebut pun ikut berubah. Saya mengamati hal yang sama dengan orang-orang yang masuk dalam kelompok ekstrimis. Mereka yang memiliki pandangan yang sama justru mendapatkan ruang untuk berbagi dan berkordinasi lewat dunia maya. Bahkan, internet menjadi ruang aman bagi para ekstrimis untuk belajar soal pembuatan bom, soal taktik perang kota, atau bahkan berkordinasi untuk melakukan serangan bom bunuh diri.

Lebih lanjut Psikolog Siber ini menyebutkan soal fenomena online disinhibition. Sederhananya, fenomena psikologi yang umum terjadi pada orang-orang yang berinteraksi di internet ini adalah saat manusia kehilangan kontrol atas rasa was-was atau mekanisme perlindungan diri ketika berselancar di dunia maya. Biasanya, dalam dunia nyata, manusia memiliki mekanisme alami untuk merasa was-was demi melindungi diri ketika berada di lingkungan baru atau bertemu orang baru. Kondisi ini tiba-tiba hilang ketika berada di dunia maya. Orang-orang menjadi sangat mudah untuk memberikan data pribadinya di akun sosial medianya. Mereka juga dengan mudah berinteraksi dengan orang yang baru dikenal. Bahkan, orang-orang ini gampang sekali mengeluarkan kata-kata kasar tanpa melihat konsekuensinya.

Fenomena online disinhibition ini juga menarik untuk lebih di dalami, terutama soal perekrutan kelompok ekstrimis yang terjadi di dunia maya. Begitu mudahnya orang-orang ini percaya dengan propaganda yang disebarkan di sosial media. Pertahanan dan daya berpikir kritis seseorang seolah runtuh dan secara bertahap masuk dalam narasi-narasi si penyebar propaganda.

Mary memang tidak menjelaskan secara spesifik soal dinamika online para kelompok ekstrimis. Namun, dari membaca buku ini, kita seharusnya bisa lebih sadar dan mawas diri bahwa efek negatif dari dunia maya itu bisa dikurangi dengan kita lebih mengetahui hal-hal apa saja yang berbahaya dan membuat kita berubah ketika berada di dunia maya.

Komentar

Tulis Komentar