Beberapa tahun belakangan ini, fenomena purifikasi Islam tampak menggeliat di seluruh wilayah nusantara.
Trend ini kemudian berubah menjadi pergerakan umat secara masif, terutama sejak masa Pilpres 2014 silam yang mencalonkan Jokowi vs Prabowo sebagai calon kandidat Presiden Indonesia.
Yang menarik, gejala polarisasi ini justru memunculkan berbagai istilah yang tak lazim digunakan oleh masyarakat umum sebelumnya. Salah satunya adalah istilah Ikhwan, dalam Bahasa Arab yang berarti saudara atau brother.
Bagi masyarakat awam atau mereka yang baru melek terhadap Islam, barangkali akan memandang bahwa seluruh kaum muslimin adalah Ikhwan, tak peduli apa pun latar belakangnya. Sebab menurutnya, umat Islam adalah bersaudara.
Padahal, istilah tersebut tadinya hanya digunakan secara spesifik yang merujuk pada kelompok tertentu saja.
Karenanya, tak mengherankan jika terkadang muncul kesalahan dalam memahami istilah tersebut secara tepat.
Kesalahan dalam memahami istilah tersebut bukan saja terjadi di kalangan aktivis semata, bahkan di kalangan akedimisi pun sering kali mengalami bias dalam penyebutan pada kelompok tertentu yang dianggapnya sebagai Ikhwan.
Lalu siapakah yang disebut Ikhwan? Dan bagaimana akar sejarahnya?
Tulisan ini, barangkali akan sedikit mengulas tentang istilah tersebut, terutama dalam sudut pandang penulis pribadi.
Jika merujuk pada latar belakang sejarah, istilah Ikhwan sendiri mulai dikenal sejak munculnya kelompok Ikhwanul Muslimin di Mesir.
Ikhwanul Muslimin atau Muslim Brotherhood pertama kali didirikan oleh Hasan Al-Banna pada Maret 1928.
Kelompok ini mulai muncul kembali ke permukaan ketika rezim pemerintahan Anwar Sadad berkuasa setelah sebelumnya kelompok ini dibebukan oleh Perdana Menteri Jamal Abdul Nasir sejak tahun 1952.
Berkuasanya Anwar Sadad memberikan angin segar pada kelompok ini untuk terjum kembali dalam kancah politik nasional.
Salah satu karakter dari kelompok ini adalah mencoba menyatukan kembali kaum muslimin pasca runtuhnya kerajaan Turki Utsmani pada tahun 1912 di bawah kepemimpinan Sultan Abdul Hamid II. Selain itu, menjadikan syari’at Islam sebagai dasar dalam peradilan dengan menggantikan sistem sekuler ala Barat.
Munculnya gelora semangat purifikasi keislaman ini rupanya memberikan dampak terhadap peta perpolitikan di tanah air yang umumnya dikuasai oleh kelompok sekuler dan Islam abangan (merujuk pada organisasi NU).
Maka muncullah beberapa kelompok Islam tanah air yang mencoba menghidupkan semangat purifikasi tersebut. Salah satunya adalah DI/TII atau Darul Islam/Tentara Islam Indonesia di bawah kepemimpinan Sekarmadji Maridjan (SM) Kartosoewirjo pada tahun 1949.
Gerakan ini bertujuan menjadikan Republik Indonesia yang saat itu baru saja diproklamasikan kemerdekaannya dan ada pada masa perang melawan tentara Kerajaan Belanda sebagai negara teokrasi dengan agama Islam sebagai dasar negara.
Pasca dibekukannya kelompok DI/TII oleh pemerintah sebagai organisasi terlarang, lantas tidaklah menyurutkan semangat purifikasi tersebut.
Semangat itu kemudian dilanjutkan kembali oleh kelompok Jama’ah Islamiyah (JI) yang memiliki tujuan yang sama sebagaimana pendahulunya, yakni menegakkan syari’at Islam sebagai dasar negara.
Lain halnya pada kelompok DI/TII atau JI, semangat purifikasi yang dihembuskan oleh kelompok Ikhwanul Muslimin bukan saja menyasar pada kelompok Islam puritan arus bawah, namun juga turut memberikan warna pada wajah perpolitikan di republik ini.
Munculnya beberapa partai Islam dalam peta politik dituding menjadi bagian dari propaganda kelompok Ikhwanul Muslimin yang berupaya membangun kembali syari’at Islam.
Meski demikian, jika sebagian kelompok mencoba membangkitkan semangat purifikasi melalui parlemen dengan turut dalam pentas politik, berbeda halnya dengan kelompok DI/TII atau JI. Mereka tidak menjadikan panggung politik sebagai kendaraan untuk mewujudkan Indonesia bersyari’ah.
Bahkan tak segan kelompok ini memberikan label bagi republik ini sebagai pemerintah thoghut (merujuk pada pemerintahan) dan para penunggang politik adalah anshorut thoghut (merujuk pada aparatur/pejabat pemerintah).
Istilah thoghut sendiri dicirikan pada mereka yang menolak berhukum pada syari’at Islam dengan menjadikan Pancasila sebagai dasar bernegara.
Karenanya, tidak ada proses negosiasi atau diplomasi dalam keyakinan kelompok ini untuk mewujudkan Negara Islam tanpa melalui peperangan dan pertumpahan darah.
Bagi mereka, Islam hanya bisa ditegakkan melalui pedang (perang) sebagaimana yang terjadi pada perang badar.
Persoalan ini tentu mencoba menjawab terhadap munculnya kelompok-kelompok puritan di Indonesia yang mencoba mengkampanyekan Islam dan Khilafah dengan cara teror dan kekerasan.
Karenanya, kelompok puritan Islam jenis ini di Indonesia lazim disebut dengan istilah Ikhwan.
Penyebutan sebagai Ikhwan bukan saja merujuk pada individu yang pernah tersentuh dengan pendidikan pesantren, tetapi juga berlaku bagi individu lain atau kelompok yang memiliki semangat dalam mewujudkan Indonesia bersyari’ah.
Jika seorang Ikhwan diketahui menjalin hubungan kerjasama atau pertemanan dengan kelompok yang diasumsikan sebagai thoghut atau anshorut thoghut tadi, maka individu tersebut dikategorikan sebagai Ikhwan murtad atau keluar dari Islam.
Sebaliknya, jika pelakunya adalah individu yang tidak memiliki latar belakang sebagai seorang Ikhwan, maka ia akan terhukumi sebagai Jahil atau orang bodoh.
Persoalannya, apakah kita masuk kategori sebagai Ikhwan atau bagian kelompok Jahil? Wallahu’alam…
Foto: https://www.alodunia.com/2017/06/sejarah-hubungan-mesra-saudi-dan.html