Ketika Kawan-Kawan Tongkrongan Pada Hijrah

Other

by Eka Setiawan

Hijrah ke yang baik-baik, meninggalkan yang tak manfaat, memang menyenangkan. Tapi, bagaimana kalau dianggap asosial, nggak mau nongkrong-nongkrong lagi dengan teman lama, membuat jarak dan lebih nggak asik lagi, jadi merasa paling benar?

Agaknya pertanyaan itu tidak bisa dijawab seketika saja. Sebab, pastinya semua orang punya pandangan masing-masing. Yang tentunya, sekali lagi, masing-masing jawaban itu tentu saja akan dianggap benar oleh masing-masing individu itu sendiri. Semua punya standar kebenarannya sendiri-sendiri.

Obrolan itu terjadi ketika beberapa kawan saya pada main ke rumah, Selasa (2/4/2019) malam sampai larut jelang Subuh. Ketika itu saya pulang ke kampung halaman di Kota Tegal, esoknya mau adakan acara syukuran pernikahan.

Pulang adalah sarana bertemu dengan teman-teman lawas, yang cerita-ceritanya tentu sangat saya rindukan. Maklum, kami tumbuh bersama dari kecil sampai pada gede-gede seperti sekarang ini.

Kembali ke tadi, soal hijrah-hijrah itu. Kawan saya yang cerita itu namanya Anjar, panggilannya Gembel. Seorang Punk, penyuka musik cadas, dan kerap tongkrongan. Setidaknya itu menurut saya.

Dia datang ke rumah sekira jam 2 pagi, selepas beberes dari pekerjaannya buka warung wedangan. Motor diparkir, lesehan di tikar, selepas menyulut sebatang rokok, Anjar mulai cerita.

“Banyak teman-teman yang pada hijrah,” ceritanya.

Teman-teman yang dimaksud, ya yang biasa nongkrong bareng. Yang kami kenal melalui tongkrongan, acara musik, ruang kos-kosan, ataupun hobi-hobi lainnya yang serupa.

Dari situ, ternyata juga membuat obrolan-obrolan di grup WhastApp menjadi berbeda. Sekarang sudah mulai ada dalil-dalil. Yang pada hijrah itu, penampilannya berubah. Celananya mulai cingkrang-cingkrang.

Anjar juga cerita, kalau sekarang komunikasi sudah berubah, tidak sedekat dulu lagi. Memang ada yang tetap main ke warung wedangannya, celananya sudah cingkrang.

“Tapi yang itu masih mau membaur, ya seperti biasa saja dengan kami, sudah nggak ngerokok lagi juga. Tapi yang lain beda,” kata Anjar yang badannya penuh tato itu kepada saya.

Sambil menerawang, Anjar melanjutkan ceritanya. Dia berujar, hijrah itu memang baik, tapi ya itu kalau sudah menutup diri, pergaulan menjadi ekslusif, membuat jarak, itu jadi nggak asik.

Padahal, kawan-kawan tentu saja sangat terbuka dan tentunya sangat menghormati pilihan masing-masing. Membaur tak harus melebur.

Obrolan ditemani segelas kopi sachetan terus mengalir. Lalu, si Anjar itu nyeletuk yang membuat obrolan makin menarik. Dia cerita kalau ada pula yang hijrah, lalu jalan dari masjid ke masjid, sampai berminggu bahkan berbulan-bulan.

Kayaknya si Anjar itu kesal. Dia punya argumen sendiri. “Katanya hijrah, tapi itu bagaimana, sampai berbulan-bulan meninggalkan anak istri, wong katanya dalam Islam itu nyuekin istri apalagi anak beberapa hari saja itu sudah salah, kok ini sampai berbulan-bulan ditinggal,” ceritanya.

“Kalau dulu di zaman Nabi Muhammad, dakwahnya ya mungkin begitu, dari satu tempat ke tempat lain didatangi, rumah pintunya diketuk, kan belum modern. Kalau sekarang kan sudah modern,” lanjutnya.

Saya dan beberapa teman lain menyimak obrolan itu serius namun tetap santai, sambil membayangkan ceritanya.

Dalam hati saya, si Anjar ini juga menurut saya sudah hijrah. Setidaknya sekarang sudah makin rajin, mau kerja keras cari uang, buka warung wedangan sampai larut demi mencari rejeki yang halal. Meninggalkan masa lalu juga, yang mungkin masih banyak malasnya.

Seorang kawan lain juga nyeletuk ke saya. “Iya, sekarang grup udah berubah, nggak asik lagi. Grup isine ceramah-ceramah, kalau nggak ya soal Pilpres, ini pilih nomor ini, satunya pilih nomor itu, pada ribut. Marai mumet,”

 

Sumber gambar: https://i2.wp.com/punakawan.net/wp-content/uploads/2017/10/Ilustrasi-hijrah.jpeg?fit=1600%2C1067&ssl=1

 

 

 

Komentar

Tulis Komentar