“Kami punya anak 4, Kami meminta bantuan untuk kembali ke negara asal kami, Indonesia.” Kata seorang ibu yang mengaku bernama Maryam, dari Bandung, Jawa Barat dalam video yang dirilis oleh Tirto.id. Maryam terdampar bersama ratusan pengusi dari berbagai belahan dunia di Pengungsian Al Hol, Suriah.
Maryam bukanlah orang Indonesia pertama yang berhasil ditemukan disana dan telah bergabung dengan ISIS. Sebelumnya, 18 orang berhasil dikeluarkan oleh Kementerian Luar Negeri dari pengungsian di Suriah pada Agustus 2017. Itu belum termasuk 300an orang yang pernah ditampung di Kementerian Sosial setelah dideportasi karena keterlibatannya dengan ISIS. Data yang pernah disebutkan Menteri Pertahanan lebih mencengangkan lagi, 700 warga Indonesia telah bergabung dengan ISIS.
Seandainya mereka ingin kembali, pihak Indonesia sendiri nampaknya belum begitu siap menerima kedatangan mereka. Hal ini melihat dari penanganan Deportan tahun Januari 2017. Lebih dari 100 orang dipulangkan oleh otoritas Turki dan ditampung oleh Kementerian Sosial sesampainya di Indonesia. Saat itu, belum ada pengalaman yang pasti cara penanganan mereka. Kemudian, beberapa lembaga berinisiatif membantu pendekatan dan assesment mulai dari Kementerian Sosial sendiri, Detasemen Khusus (Densus 88), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) ataupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Ada beberapa kloter pemulangan. Pada kloter pertama, deportan ditempatkan di PSMP Handayani, Bambu Apus yang sebenarnya untuk pembinaan anak. PSMP Handayani menjadi pilihan karena 70% deportan adalah ibu dan anak.
“Beberapa orang di kloter pertama ini adalah orang “Top” yaitu istri Bahrumsyah, ada juga Chalid yang dalang Bom Surabaya”, Kata Dete Alijah, Direktur Serve Indonesia. Menurut Dete, belum ada prosedur yang jelas saat itu. Beberapa LSM termasuk Yayasan Prasasti Perdamaian (YPP) terlibat dalam assesment deportan-deportan ini. Mereka dapat dipulangkan hanya dengan menandatangani surat pernyataan kembali ke NKRI.
Data dari PSMP Handayani, memang hanya 3 orang yang terlibat kembali aksi radikalisme dari 300an deportan setelah dibina oleh PSMP Handayani dan RPTC yang merupakan panti dibawah koordinasi Kementerian Sosial. Mereka adalah AIK (Kasus Perencanaan Bom Bandung), YF (Kasus Perencanaan Bom Bandung) dan Chalid (Bom Surabaya) ditangkap pasca pemulangan. Adapun M (Kasus Pendanaan) dan KA (Kasus Pendanaan dan Recruitment) ditangkap ketika pembinaan. Angka ini lebih kecil dari residivis kasus terorisme yang kembali melakukan aksi terorisme.
Sedangkan 18 orang yang pernah diselamatkan oleh Kementerian Luar Negeri dan dibina oleh BNPT justru terlibat dalam kampanye-kampanye perdamaian. Meskipun 3 orang dari mereka harus menjalani hukuman karena dianggap telah mendanai keluarganya untuk berangkat ke Suriah.
Namun baik Returnees (Kembali setelah masuk ISIS) maupun Deportees (Dideportasi dari Turki sebelum ke ISIS) mendapat larangan perjalanan ke luar negeri.
Ada puluhan mungkin ratusan orang yang masih tinggal di Pengungsian Suriah dan meminta bantuan untuk pulang. Bukan hanya pemerintah yang harus mempersiapkan diri atas segala kemungkinan namun apakah masyarakat siap menerima mereka? Ruangobrol.id selanjutnya melakukan survey melalui instagram. Hasilnya, dari 50 koresponden, 52% menyatakan tidak setuju mereka yang pernah bergabung dengan ISIS kembali ke Indonesia. Alasannya, mereka yang sudah keluar harus menerima konsekuensi. Namun ada juga yang setuju menyatakan bahwa setiap orang perlu diberi kesempatan kedua untuk memperbaiki dirinya apabila ingin kembali karena sejatinya setiap manusia memiliki kesalahan.
Menurut Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh (LBBP) Republik Indonesia untuk Suriah, Drs. Wajid Fauzi M.PM menyatakan bahwa mereka yang ingin kembali, harus bisa membuktikan dulu apakah benar mereka adalah warga Indonesia. “Setelah dia bisa membuktikan, baru assesment dari pihak keamanan di Indonesia entah itu BIN, Densus 88 agar kejadian tidak diinginkan tidak terjadi.” Jelas Ambassador Wajid Fauzi pada sebuah acara yang diadakan Universitas Indonesia di Salemba, 14 Maret lalu.
Indonesia perlu membuat formula khusus dari pemerintah di dalam negeri sebelum mereka mereka kembali. Rehabilitasi Kewarganegaraan dengan pendekatan kemanusiaan menjadi salah satu langkah awal. Pendekatan deradikalisasi belum diperlukan di awal kepulangan karena belum ditemukannya cara yang tepat untuk mengukur radikalisasi seseorang. Pemerintah juga perlu menyiapkan prosedur pembinaan dengan berbasis pendampingan kemanusiaan sebagai tahap selanjutnya. Selain itu, Masyarakat perlu mendapat pembinaan untuk memberikan kesempatan kedua kepada mereka dan pertahanan diri dari pemahaman yang mengajarkan kekerasan.
Isu returnees kembali mencuat lagi setelah Sabtu lalu (23/3), Desa Bagzhouz hancur diserang oleh SDF (Syrian Democratic Force) yang dipersenjatai oleh Amerika Serikat. Desa ini diklaim sebagai kantong terakhir ISIS. Ratusan orang mengungsi ke Al Hol setelah sebelumnya ratusan orang juga mengungsi ke daerah Malikiyah. Peristiwa Bagzhouz ini memang belum diakui oleh kelompok ISIS, menurut pantauan ruangobrol.id , ISIS yakin bahwa wilayahnya masih kuat terutama di Afrika dan Asia.
Sumber foto : video dari tirto.id