Bertemu Santriwati yang Ingin ke Suriah Gabung ISIS (Bagian 2-Habis)

Other

by Eka Setiawan

Oleh: Febri Ramdani

Cerita sebelumnya, aku bersama Peace Generation, sebuah NGO yang concern dalam isu-isu perdamaian, berkunjung ke salah satu pondok pesantren (ponpes) di Kabupaten Garut, Jawa Barat.

Kedatangan kami ke sana karena mendapat informasi dan ingin berbagi cerita. Ada salah satu santriwati di ponpes tersebut yang tampaknya sangat bersemangat untuk pergi ke Suriah, ingin bergabung dengan kelompok teroris Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS).

Setelah kami berbincang dengan beberapa guru di sana, diadakanlah 2 sesi pertemuan. Pertama, dengan para santri dari Tsanawiyah (SMP). Sesi kedua, pertemuan dengan para santri Aliyah (SMA).

Para guru sempat bilang agar saat menyampaikan cerita jangan terlalu terlihat seperti merujuk pada santriwati yang semangat ingin ke Suriah itu. Lebih universal saja, katanya.

Pertemuan sesi pertama, jumlah yang ikut tak terlalu banyak, tapi mayoritas perempuan. Aku berbagi cerita tentang fakta-fakta yang terjadi sesungguhnya di wilayah ISIS.

Aku menekankan cerita tentang mengenai apa yang akan dialami perempuan di wilayah ISIS di Suriah sana. Terutama soal ‘jihad nikah’, selalu digadangkan sebagai kewajiban para perempuan yang sudah ‘berhijrah’ ke sana.

Saat sesi kedua, tak jauh beda materinya. Namun pesertanya jauh lebih banyak dari sesi sebelumnya. Mungkin 2 kali lipatnya. Bagiku, ini pengalaman pertama berbicara di depan khalayak sebanyak ini.

Aku bercerita sedikit berbeda. Tentunya soal ‘jihad nikah’ tadi, plus berbagai kezaliman ISIS tentang pemaksaannya kepada para ‘muhajirin/muhajiroh’ untuk mengikuti aturan mereka.

Dari kedua sesi itu, respons yang diberikan saat aku bercerita tentang ‘jihad nikah’, rata-rata terlihat jijik dan sangat mengecam perbuatan ISIS kepada perempuan. Semua mengecam, baik guru maupun para muridnya.

Oh iya! ada satu hal yang aku lupa sampaikan saat berada di sana. Adalah cerita mengenai prostitusi yang terjadi di wilayah ISIS.

Cerita ini kudapatkan saat aku berada di penjara Syirian Democratic Forces (SDF) di Kota Kobane, Suriah.

Salah satu muhajirin asal Tunisia yang juga kabur dari ISIS sempat bercerita, bahwa di salah satu wilayah di Kota Raqqa (ibu kota ISIS), ada satu tempat yang mana kita bisa mendapatkan para wanita yang melakukan (maaf) pelacuran dan juga perbudakan.

Dalam hati, katanya negara Islam? Tapi mengapa praktik seperti itu masih ada? Huh!

Padahal telah jelas firman Allah mengatakan untuk menghapuskan perbudakan, seperti tercantum dalam Surat Al-Balad (90) ayat 10-16 yang artinya:

“Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan (kebajikan dan kejahatan).” [10]

“Tetapi dia tidak menempuh jalan yang mendaki dan sukar.” [11]

“ Dan tahukah kamu apakah jalan yang mendaki dan sukar itu?” [12]

“(Yaitu) melepaskan perbudakan (hamba sahaya),” [13]

Didatangi Santriwati

Saat sesi tanya jawab berlangsung, para guru dan murid tampak antusias memberikan pertanyaan. Mereka tampak sangat penasaran dengan apa yang terjadi di wilayah ISIS di Suriah.

Saat sesi tanya jawab selesai, kami kembali ke ruangan para guru, tempat yang sudah disediakan untuk kami. Ternyata, para guru di sana mengatakan, bahwa mungkin ada beberapa murid yang akan datang ke sini untuk menanyakan lebih detil pengalaman hidup di Suriah.

Ternyata benar.

Hingga saat setelah waktu Ashar dan Magrib, beberapa santriwati datang. Mereka kembali melempar beberapa pertanyaan. Terutama, tentang bagaimana ISIS memperlakukan perempuan.

Dan di antara santriwati yang datang, adalah dia yang ngebet banget mau ke Suriah. Itu kata para guru kepada kami. Meskipun para guru tidak memberitahu yang mana santriwatinya.

Aku dan rekanku juga tidak tahu mana orangnya. Jadi kami hanya menebak-nebak saja. Yang ‘kelihatan’ atau ciri-cirinya saja, seperti yang telah diterangkan kepada kami sebelumnya.

Selama percakapan dengan para santriwati tersebut, ada satu orang yang kami “curigai´sebagai si terduga. Terlihat dari ekspresi nya yang selalu diam dan seolah menatap kami dengan agak, hmm. . . gimana ya. . . pokoknya tidak rileks lah ya.

Pertanyaan demi pertanyaan diajukan oleh para santriwati di sana. Sampai saat waktu sudah menjelang malam, mereka pun pamit.

Setelah mereka keluar, barulah para guru beserta Kang Irfan Amalee memberitahu yang mana orangnya. Dan jujur kami semua sempat agak kaget! Karena orang yang kami kira itu bukanlah si “terduga”.

Sampai beberapa dari kami yang juga sama-sama tidak tahu orangnya yang mana mengatakan,

“Hah? Jadi bukan anak yang duduk di sebelah kanan tadi?”

“Iya, yang di sebelahnya,” kata para guru.

“Waduh, jadi si neng geulis toh orangnya,” batinku.

Kenapa kami sampai salah menduga? Sebab, orang yang kami duga tersebut memiliki ciri-ciri atau perangai seperti yang telah dideskripsikan para guru-guru di sana. Sangat berbeda dengan si neng geulis itu.

Dia cenderung terlihat santai dan sesekali tersenyum.

Satu pelajaran yang dapat diambil dari kejadian ini adalah, “Don’t judge the book by its cover. Don’t judge someone by its cover.” Jangan kita menilai seseorang dari penampilan luarnya saja. Itu namanya berprasangka (Prejudice).

Rabbighfirlii, Rabbighfirlii. Astaghfirullah.

Pada saat itu aku yang juga kaget mengatakan bahwa jangan sampai anak itu pergi. Mudah-mudahan dengan mendengar cerita fakta yang terjadi di ISIS dia bisa kembali berpikir dan mengurungkan niatnya untuk pergi ke sana.

Apalagi (maaf) dengan paras anak tersebut yang cantik, bisa sangat berbahaya bagi dirinya. Seperti yang telah kukatakan di atas, banyak sekali anak-anak di bawah umur yang diminta untuk segera menikah.

Semoga Allah memberikannya petunjuk dan dapat memutarbalikkan hati anak itu agar tidak memiliki semangat lagi untuk pergi ke sana (ISIS).

Berubah

Tak terasa, malam semakin larut. Setelah menyantap makan malam, kami pun pamit dan segera kembali lagi ke Bandung.

Beberapa bulan setelah itu, tepatnya awal bulan Oktober 2018, aku kembali bertemu dengan Kang Irfan Amalee saat ia sedang menghadiri salah satu acara yang kebetulan cukup dekat dari tempat tinggalku.

Maka aku menyempatkan diri untuk mampir dan bersilaturahmi. Kami pun mengobrol cukup lama dan di tengah percakapan aku menanyakan kepada beliau mengenai anak yang ingin ke Suriah.

“Oh iya, Alhamdulillah anak itu sekarang sudah enggak mau lagi ke Suriah. Setelah denger pernyataan yang disampaikan waktu itu!,” ucapnya dengan semangat.

Aku sempat kembali meyakinkan pernyataan beliau, apakah anak itu hanya berkata begitu agar orang-orang tidak mencurigainya lagi atau tidak?

Beliau pun kembali meyakinkan bahwa Insya Allah anak itu sudah berubah.

Beliau mendapatkan laporan mengenai perkembangan anak tersebut dari anaknya yang juga nyantri disana. Anaknya yang bisa dibilang selalu memantau temannya yang mau ke Suriah itu. Serta beberapa guru di pesantren tersebut juga menyatakan hal yang serupa.

AlhamdulillahiRabbilalamiin, akhirnya. . . Allah telah memutarbalikkan hatinya sehingga anak itu mengurungkan niatnya untuk pergi.

Aku pun senang mendengar kabar tersebut, dan karena kejadian ini, membuatku semakin semangat lagi dalam menyampaikan kebenaran akan fakta-fakta yang terjadi di wilayah kekuasaan ISIS.

Komentar

Tulis Komentar