Menjelang tiga hari pasca liburan di Poso, Ocha tadinya berencana ingin kembali ke Al Islam di Lamongan, Jawa Timur.
Ia merasa rindu dengan aktivitas pesantren, terlebih kepada dua orang sahabatnya yang telah ia tinggalkan.
Rupanya, realita tak selalunya sejalan dengan harapan. Niat untuk kembali ke Jawa urung dilakukan.
Hal ini menyusul adanya desas-desus di tengah masyarakat Poso perihal adanya selebaran yang disebarkan oleh aparat kepolisian tentang sejumlah nama dan foto Daftar Pencarian Orang (DPO).
Di dalam selebaran kertas tersebut, berisi sekitar 6-10 sketsa wajah orang-orang yang cukup familiar baginya. Mereka adalah teman-temannya.
Mengetahui hal tersebut, orang-orang di Poso merasa berang, termasuk Ocha. Sebab nyata, bahwa kejadian ini akibat buntut dari kerusuhan berdarah yang terjadi di kota dengan motto Sintuwu Maruso tersebut.
Meskipun demikian, ultimatum dari kepolisian seperti itu tak membuat Ocha dan teman-temannya bersedia menerima begitu saja. Mereka serentak menolak dan tidak menghiraukannya sama sekali. Sebab mereka meyakini bahwa masih adanya ketimpangan hukum dan keadilan yang tidak berjalan sesuai koridor.
Bagi Ocha dan kalangan ikhwan di Poso saat itu, apa yang mereka lakukan dalam kerusuhan hanyalah sebagai aksi balasan dan bentuk pembelaan ketika konflik itu terjadi.
Seharusnya, jika pemerintah bersikap adil, harusnya segera mengusut siapa dalang dan pelaku di balik tragedi yang mengoyak kerukunan beragama di bumi Poso tersebut.
Dengan beredarnya kertas yang memuat banyak nama-nama DPO, spontan membuat kondisi masyarakat Kota Poso merasa panik. Bayang-bayang akan terjadinya pertumpahan darah jelas menghantui mereka.
Para kelompok jihadis ini kemudian memutuskan untuk berkumpul Pondok Pesantren Amanah di Tanah Runtuh, Kel. Gebang Rejo, Poso pimpinan Muhammad Adnan Arsal.
Pondok Pesantren Amanah ini sendiri didirikan oleh Adnan Arsal pada 4 Mei 2001, dimana difungsikan untuk menampung para santri pindahan dari Pesantren Walisongo di Kilo 9, Lage, yang menjadi korban dari kerusuhan agama tersebut.
Karenanya, sejak awal pembangunannya, Pesantren Amanah dijadikan sebagai basis perkumpulan para aktivis dan kombatan yang pernah terlibat dalam konflik sektarian tersebut.
Setelah berkumpul, sebagian besar mereka segera mempersenjatai diri untuk berjaga-jaga jika nanti bentrokan dengan pihak aparat terjadi.
Dalam kasus ini, alternatif yang dipilih oleh kalangan jihadis di Poso waktu itu adalah memutuskan untuk melawan, apa pun resikonya.
Keberanian mengambil sikap perlawanan kepada pihak aparat tentu bukan sekedar gertak sambal. Sebab pada saat itu, mereka masih memiliki banyak simpanan senjata bekas kerusuhan dulu dan dalam kondisi layak pakai.
Maka guna untuk mengantisipasi segala kemungkinan, para jihadis ini pun segera mempersenjatai diri.
Mereka mengumpulkan seluruh senjata yang ada, sementara sebagian lainnya mencari bahan-bahan peledak untuk dijadikan bom.
Menjelang lebaran Idul Fitri tepatnya pada bulan November 2006, awal ketegangan itu pun pecah.
Seorang warga tewas tertembak oleh peluru aparat di Tanah Runtuh, Gebang Rejo. Kondisi ini tentu kian memperkeruh suasana Poso.
Meski pasca kejadian tersebut suasana Poso kian menegangkan, tetapi antara kedua belah pihak masih berusaha untuk saling menahan diri dan menghindari adanya kontak senjata.
Di sisi lain, kalangan jihadis ini mulai meningkatkan persenjataan, khususnya bom dan senjata api rakitan. Seperti bom lontong atau bom pipa, molotov, senjata tajam dan api.
Dalam rentang waktu antara 11-22 Januari 2007, Poso masih dalam kondisi kondusif. Tidak ada gesekan sama sekali baik dari aparat maupun kelompok jihadis. Meski diakui bahwa kondisi Kota Poso kala itu benar-benar tegang.
Hingga tepat pada Senin, 22 Januari 2007 selepas ba’da Subuh, petugas gabungan TNI/Polri melakukan pengepungan lokasi pondok pesantren di Tanah Runtuh, Gebang Rejo dari berbagai sudut.
Aparat juga mengerahkan berbagai peralatan tempur, termasuk kendaraan militer. Potensi untuk meloloskan diri kecil kemungkinan terjadi.
Tak ada pilihan selain melawan. Maka mau tidak mau, para jihadis ini pun mulai melakukan perlawanan.
Menjelang pukul 6 Wita, drama menegangkan itu dimulai.
Link Foto : https://www.arrahmah.com/2012/12/28/ulama-densus-88-teror-masyarakat-sidrap/