Ketika Anak Menjadi Tumbal Para Pecandu Dogma

Other

by Kharis Hadirin

"Lelaki sejati adalah dia yang mencintai anak-anaknya," nasihat Don Corleone, kepala keluarga mafia dalam film The Goodfather.

Sosok Vito Andolini Corleone atau lebih dikenal dengan Don Corleone dimainkan dengan apik oleh Marlon Brando. Wajahnya datar. Bicaranya pelan, tapi berat.

Pada dialog lain, Vito berpesan pada seorang perias jenazah yang menangani tubuh Santino Corleone, anak tertuanya yang mati diberondong peluru anggota geng lawannya.

"Tolong rapihkan tubuhnya. Aku tidak mau ibunya melihatnya dalam kondisi seperti ini," ujarnya pelan. Ada rasa sakit menelusup dalam ucapannya.

Bagi Don Corleone, anak adalah pusat kehidupannya.

Film tiga sekuel itu mengisahkan keluarga imigran Italia yang hidup di Amerika yang keras. Sejarah Corleone adalah napak tilas lelaki yang berjuang untuk keluarganya di belantara dunia hitam dan bisnis di AS masa itu.

Dia merangkak dari seorang penjahat kecil sampai menjadi Don, dengan koneksi dan kekuasaan yang luar biasa.

Vito Corleone adalah seorang mafia. Tangannya bermuluran darah banyak orang. Tapi di depan anak-anaknya, Vito adalah seorang ayah biasa. Sabar, penyayang dan penuh kasih. Ia adalah ayah dari empat orang anak yang harus dihidupi.

Di akhir masa hidupnya, dia digambarkan wafat saat bermain dengan cucunya di kebun.

Mario Puzo, sang penulis skenario mungkin saja terobsesi dengan sosok ayah seperti Vito Corleone. Lembut, penuh kasih sayang sekaligus pejuang gigi bagi keluarganya. Dia menampilkan dua sisi manusia dalam diri Vito Corleone, seorang Don kepala mafia berdarah dingin dan seorang ayah yang lembut.

Di suasana lain. Di Indonesia zaman ini.

Seorang ibu di Sibolga, Sumatera Utara, begitu tega menumbalkan anak kandungnya yang masih berusia 3 tahun dengan cara meledakkan diri pada Rabu (13/3/2019) pukul 01.30 dini hari atas perintah ayah si anak sekaligus suami perempuan tersebut.

Tubuh balita tersebut hancur berantakan dan tidak utuh lagi akibat bom yang sengaja diledakkan oleh ibunya.

Anak yang lahir ke dunia tanpa beban dosa, anak yang harusnya mendapatkan haknya untuk dicinta, dikasihi dan disayangi, justru dipaksa oleh kedua orang tuanya menjemput kematian dengan cara tragis dan biadab.

Tepat sehari sebelumnya pada Selasa siang, petugas kepolisian berhasil mengamankan Husain alias Abu Hamzah, sang ayah dari balita tersebut di kediaman mereka atas keterlibatannya dalam jaringan teroris.

Saat petugas yang hendak melakukan penggeledahan di rumahnya, istri Husain menolak diamankan.

Berbagai upaya negosiasi telah dilakukan oleh pihak kepolisian. Mulai dengan komunikasi secara langsung, hingga mendatangkan tokoh agama agar perempuan tersebut bersedia untuk menyerahkan diri dan melepaskan anaknya.

"Tolong menyerahlah, ingat anakmu. Jangan kau korbankan anakmu. Bicara baik-baik kalau ada masalah. Karena tidak ada agama yang mengajarkan hal yang seperti itu. Ayo menyerahlah," seru seorang tokoh agama melalui alat pengeras suara masjid sebagaimana dikutip dalam Nasional Tempo pada Selasa (12/3/2019).

Upaya ini dilakukan bukanlah tanpa alasan. Sebab sebelumnya, di dalam rumah tersebut terjadi ledakan bom yang juga melukai petugas kepolisian saat hendak melakukan pengamanan.

Dalam kondisi seperti ini, tentu siapapun tidak mau ambil resiko. Terlebih mengingat ada balita bersama ibunya di dalam rumah yang sudah ditanami bom oleh Husain, sang kepala rumah tangga.

Tak dinyana, negosiasi gagal dan berubah menjadi drama horor. Sang ibu merangkul anaknya, lalu melekatkan diri pada bom yang telah disiapkan oleh suaminya dan meledakkannya.

Tubuh keduanya terpental hingga sejauh 70 meter. Dan sudah dalam kondisi tidak utuh lagi.

Peristiwa di Sibolga ini, tentu mengingatkan kita kembali tentang sosok Ais, seorang bocah delapan tahun, putri dari Tri Murtiono dan Tri Ernawati.

Kedua orangtuanya mati dengan meledakkan diri di Mapolrestabes Surabaya pada Senin (14/5/2018).

Ais yang diajak orangtuanya menjemput kematian rupanya hanya terpental. Ia lalu diselamatkan seorang polisi, sosok yang tadinya hendak dibunuh oleh orang tuanya dengan bom yang mereka bawa.

Atau barangkali serupa Puji Kuswati, seorang ibu yang tega melilitkan bom ke tubuh dua putrinya yang masih kecil itu. Dita Oeriptiono, ayah putri kecil itu mengantar mereka untuk mati bersama ibunya dengan meledakkan diri di tiga gereja di Surabaya. Tepat sesaat umat lain sedang khusyuk sembahyang menghadap Tuhan-nya. Lalu entah mereka mati untuk memperjuangkan apa.

Baik Hamzah, Puji dan Dita adalah orang-orang yang dari luar kelihatan sholeh, lembut dan menyayangi anaknya. Tapi sesungguhnya mereka adalah iblis yang rela menghancurkan tubuh anaknya sendiri demi jalan keyakinan egonya.

Manusia memang mahluk unik. Hidup bisa saja keras. Perjuangan keyakinan bisa saja saling menyakiti. Bahkan dalam dunia mafia, kepentingan bisnis bisa menyebabkan hilangnya nyawa. Tapi sebiadab-biadabnya mafia, dia juga manusia. Dorongan alamiah semua makhluk hidup cenderung melindungi anaknya. Cenderung melestarikan DNA mereka.

Lalu doktrin seperti apakah yang membuat manusia tega menjadikan anaknya tumbal dari keyakinan mereka?

Bayangkan jika para ‘pecandu’ dogma seperti ini menguasai hidup kita. Dimulai dari keyakinan agama yang dibalut kepentingan politik, dari keyakinan yang memusuhi keyakinan lain, dari kerasnya hati yang mau menang sendiri, dan dari kekerdilan memaknai ayat-ayat Tuhan.

Mereka menjadikan anak-anak yang harusnya sebagai amanah dari Allah, lantas dijadikan sebagai tumbal. Dari manusia, dirinya berubah menjadi iblis yang hidup tanpa welas asih. Wallahu'alam...

Komentar

Tulis Komentar