Aksi Perempuan yang Mengejutkan: Martir Teror, Sniper Cantik, hingga Kurir Narkotika

Other

by Eka Setiawan

Perempuan sekaligus seorang ibu yang meledakkan diri saat dikepung Densus 88 Antiteror Polri dan petugas gabungan di Sibolga, Sumatera Utara, diketahui bernama Solimah, warga Kota Padangsidimpuan.

Dia adalah istri Husein alias Abu Hamzah, yang ditangkap belasan jam sebelumnya, sebelum aksi meledakkan diri di rumah itu terjadi.

Dari foto yang diterima ruangobrol.id dari sumber kepolisian, tubuhnya memang hancur, potongan paling besar hanya badan saja. Wajahnya tidak bisa dikenali dengan kasat mata.

Sebab itulah, tim Disaster Victim Identification (DVI) Polri masih berupaya mengungkap identitasnya lebih jauh. Polisi juga masih terus berupaya menggali keterangan lebih jauh, sebab anaknya yang masih kecil ikut jadi korban bom bunuh diri itu.

Adanya perempuan yang rela jadi martir, melakukan aksi nekat dalam aksu teror, bukan kali ini saja terjadi. Sebelumnya, ada nama Dian Yulia Novi dari Cirebon ataupun Ika Puspitasari dari Purworejo. Meski, belum sempat beraksi, lebih dulu ditangkap polisi.

Juga ada nama lain, yakni Puji Kuswati, yang menjadi pelaku bom bunuh diri di Surabaya pada Mei 2018 lalu.

Perempuan yang nekat seperti itu juga terjadi beberapa saat setelah kejadian rusuh Markas Komando Brimob Kepala Dua Depok, Jawa Barat, Mei 2018 lalu. Mereka adalah Dita Siska Milenia dan Siska Nur Azizah. Mereka ketika itu ditangkap di Masjid Al Ikhwan dekat Mako Brimob, sekira pukul 03.00 WIB. Mereka membawa gunting yang akan digunakan menusuk polisi.

Aksi-aksi nekat perempuan rela jadi martir, tentu saja mengejutkan. Sebab, seperti kejadian di Sibolga, ketika negosiasi sempat terus dilakukan, tapi ternyata tak berhasil. Bahkan sempat menyerang petugas, sebelum akhirnya meledakkan diri.

Perempuan memang tak terduga, ini juga yang digunakan Kurdi lewat pasukan Peshmerga. Pasukan ‘terbaik” yang justru para perempuan. Mereka mudah masuk, menyamar, ternyata sniper mematikan. “Satu senyum, satu tewas”.

Dari penelusuran beberapa sumber dan pengumpulan informasi, perempuan bisa jadi sangat patuh dan lebih militan jika sudah ‘tercuci otaknya’. Media sosial jadi salah satu akses masuk, termasuk akhirnya lewat pernikahan ataupun lewat puja-puji, seolah diagungkan, padahal itu jebakan.

Pola-pola seperti itu, hemat saya, juga terjadi dalam sindikat peredaran gelap narkotika dalam skala besar. Seperti kasus Rosmalinda Sinaga (ketika ditangkap usianya 37 tahun), yang ditangkap di Bandara Internasional Ahmad Yani Semarang, pada tahun 2012 silam dengan modus dinding koper palsu. Barang buktinya tak main-main, 7,7kg sabu dan heroin. Barang itu dibawa dari Filipina dan Malaysia.

Dia juga dikendalikan seorang perempuan bernama Natalia, ditangkap dalam waktu dan lokasi berbeda. Natalia ditangkap di Jakarta.

Keduanya itu adalah “orang penting” dalam jaringan peredaran gelap narkotika antar negara, melibatkan narapidana di Nusakambangan.

Saya ketika itu sempat mewawancarai Rosmalinda. Dia mengaku, sudah berulangkali menyelundupkan narkotika dari luar negeri ke Indonesia. Sekali menyelundupkan rata-rata 5kg.

Perjumpannya dengan jaringan, melalui media sosial. Dia awalnya diperhatikan karena statusnya yang galau-galau. Akhirnya diajak berkenalan bahkan menjadi kekasih seseorang yang ternyata jaringan peredaran gelap narkotika. Sempat diajak jalan-jalan ke luar negeri, diajak belanja, sebelum akhirnya menurut saja dititipi berkilo-kilogram narkotika.

Beberapa kejadian serupa juga terjadi.

Hemat saya, pola seperti ini juga terjadi dalam kasus terorisme. Sama-sama kejahatan luar biasa alias extraordinary crime. Media sosial jadi akses masuk, menyasar mereka yang ‘galau’, butuh perhatian. Kemudian diberi perhatian ternyata “jebakan”.

 

 

Komentar

Tulis Komentar