Sebagai mantan napiter, saya sama sekali tidak merasa minder untuk kembali berinteraksi dengan masyarakat. Karena jika saya malah minder lalu kemudian menutup diri, maka saya justru akan semakin sulit diterima masyarakat. Jadi, saya harus proaktif meski saya tahu butuh waktu yang tidak sebentar untuk membuat masyarakat kembali menghargai saya.
Di awal-awal kebebasan saya, saya sempat merasa tidak perlu menjelaskan tentang status saya kepada teman-teman lama di luar kampung halaman saya. (Kalau untuk masyarakat di kampung saya sih hampir tidak ada masalah). Saya butuh sebuah ‘prestasi’ terlebih dahulu untuk membuktikan bahwa saya telah berubah jadi baik. Barulah saya bisa menjelaskan status saya kepada mereka dengan lebih nyaman.
Syukur alhamdulillah, sebulan setelah kebebasan saya, saya diundang oleh Pusat Riset Ilmu Kepolisian dan Kajian Terorisme Universitas Indonesia (PRIK-KT UI) untuk acara bedah buku yang saya tulis ketika di Lapas Salemba. Sebenarnya saya tidak menyangka jika buku kecil yang berisi ‘curhatan’ saya itu diapresiasi sedemikian rupa oelh PRIK-KT UI, sampai dibuatkan acara bedah buku segala.
Acara bedah buku itu dihadiri oleh mayoritas para mahasiswa S2 di Sekolah Kajian dan Strategi Global UI. Dari para audiens yang hadir itu saya memperoleh banyak masukan terkait apa yang ingin diketahui oleh mereka dari riwayat hidup dan perkembangan pemikiran saya sejak mulai bergabung dengan kelompok radikal sampai kemudian memutuskan untuk berhenti.
Mereka sangat mengapresiasi apa yang sudah saya tulis itu meskipun masih sangat kurang. Dan salah satu faktor mengapa tulisan sederhana saya itu menjadi berharga adalah karena yang mau menulis seperti itu masih sangat langka. Rekomendasi dari PRIK-KT UI kepada saya agar merevisi dan menambahi lagi tulisan itu dengan mengacu pada hal-hal yang masih ingin diketahui lebih jauh oleh para mahasiswa yang terungkap dalam sesi tanya jawab pada acara bedah buku itu.
Bagi saya, acara bedah buku itu adalah sebuah suntikan energi dan semangat bagi saya untuk berkarya lebih banyak lagi dalam rangka membantu umat Islam dan masyarakat Indonesia dalam mencegah dan menanggulangi ‘radikalisme’. Sekaligus juga sebagai sebuah ‘prestasi’ yang bisa menjadi bukti bahwa saya telah berubah yang bisa saya tunjukkan kepada masyarakat.
Sebenarnya yang justru mengkhawatirkan saya adalah kedua orang tua saya. Mereka khawatir saya akan sulit mendapatkan pekerjaan dan kepercayaan dari masyarakat luas. Tapi seiring berjalannya waktu di mana saya kemudian beberapa kali didatangi para akademisi untuk kepentingan penulisan tesis maupun jurnal penelitian, orang tua saya kemudian mulai meyakini bahwa ada banyak pihak yang membutuhkan saya.
Mereka senang saya masih tetap bisa kembali menjadi manusia yang berharga dan bermanfaat bagi sesama meski sempat terjerumus menjadi napi kasus terorisme. Bahkan boleh dibilang lebih bangga lagi karena ada orang-orang baru yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan akan membutuhkan bantuan saya tapi saat ini membutuhkan saya seperti para akademisi itu.