Oleh: Febri Ramdani
Adanya kegiatan di Malaysia bernama Initiative of Change (IoFC) Malaysia 24th Asia Pasific Youth Conference (APYC) pada akhir Desember 2018 lalu cukup menyemangatiku. Apalagi, tema konferensinya itu: Inspired Leaderhsip, Upholding Truth and Accountability. Aku melihat acara itu cukup positif.
Namun demikian, aku cukup grogi, apakah bisa ikut kegiatan itu?
Sebabnya apa? Secara, aku adalah seorang returnee dari Suriah dan sempat tinggal beberapa bulan di wilayah kekuasaan Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS). Pengalaman itu cukup membuatku dicap sebagai “mantan teroris”.
Semua data-dataku telah tercatat pihak intelijen. Termasuk di dalamnya, larangan untuk bisa bepergian ke luar negeri.
Namun demikian, semangatku masih besar. Aku tetap bertekad untuk mencoba bisa pergi ke Malaysia untuk bisa ikut konferensi itu.
Bismillah!
Untuk bisa ke luar negeri, tentu saja ada dokumen khusus yang perlu aku siapkan. Paspor.
Soal paspor ini, aku punya cerita sendiri. Sedikit menoleh ke belakang, ketika tahun 2017 lalu, saat aku berada di perbatasan Turki dan Suriah, pasporku saat itu masih seumur jagung. Baru sekira satu minggu jadi, malah diminta untuk diserahkan kepada para smuggler yang memandu kami menuju ke Suriah. Kata lainnya, aku akan memasuki negeri Suriah secara ilegal.
Ketika kemudian aku berhasil masuk ke wilayah Suriah dan tinggal di sana selama hampir satu tahun lamanya, Alhamdulillah ternyata bisa kembali lagi ke Indonesia dengan selamat.
Ini tentunya berkat pertolongan dari Tuhan Yang Maha Kuasa, melalui bantuan pihak pemerintah Indonesia dan beberapa pihak lain yang memiliki kontribusi besar yang berbaik hati mau menolongku beserta keluarga.
Setelah dijemput alias dievakuasi dari daerah konflik, kami sempat dibawa ke Erbil, Irak, sebelum bisa langsung kembali ke Indonesia.
Ada satu hal yang harus diurus untuk bisa pulang. Salah satunya, paspor. Itu cukup membuat kami pusing, yakni paspor sudah tidak ada. Maka saat itu, perwakilan pemerintah Indonesia membuatkan satu dokumen yang fungsinya mirip seperti paspor biasa, yaitu Surat Perjalanan Laksana Paspor (SPLP).
Pada Agustus 2017, kami akhirnya bisa kembali ke Indonesia. Saat tiba di Bandara Soekarno – Hatta, puluhan anggota Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror dengan atribut lengkap sudah “menyambut” kedatangan kami.
Semua SPLP punya kami diminta oleh salah satu dari mereka dan dikumpulkan.
Setelah kembali ke Indonesia, aku cukup aktif mengikuti berbagai kegiatan yang berhubungan dengan kontra radikalisme dan ekstremisme. Dan sudah berjalan satu tahun lebih kegiatan-kegiatan itu aku ikuti, hingga aku menulis kisah ini.
Kembali ke cerita rencana konferensi di Malaysia tadi di mana saya terganjal masalah paspor. Selama hampir 3 bulan, aku berusaha untuk mengurus segala macam hal yang diperlukan untuk pergi ke Malaysia. Tentunya yang paling penting ya dokumen paspor tadi, termasuk syarat-syaratnya apa saja.
Syarat membuat paspor itu adalah data diri, seperti KTP, KK, akta kelahiran atau ijazah. Saat itu, ijazah asliku tidak ada, termasuk akta kelahiran. Maka, aku kembali mengurus ke Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil untuk mengurus yang baru.
Selang beberapa waktu, dengan melalui proses birokrasi yang tidak terlalu panjang, akhirnya aku bisa membuat kembali akta kelahiranku. Alhamdulillah.
Lalu, pada suatu hari, aku berkesempatan bertemu dengan beberapa orang dari instansi pemerintah terkait dengan permasalahan yang kumiliki. Mulai dari BNPT, Kepolisian khususnya Densus 88 dan Kementerian Luar Negeri. Aku menanyakan kepada beberapa orang di instansi tersebut perihal pembuatan paspor yang ingin kubuat.
Aku juga sempat meminta semacam surat keterangan dari beberapa instansi tersebut untuk bisa memudahkanku dalam proses pembuatan paspor.
Akhirnya, dari semua jawaban yang didapat, aku di himbau untuk mencobanya saja dulu. Toh, aku adalah seorang WNI, dan memiliki hak yang sama dengan masyarakat lain untuk bisa mendapatkan paspor.
Setelah mendapatkan keterangan tersebut, aku makin bersemangat. Lalu, tahap selanjutnya adalah fundraising. Untuk dapat berpartisipasi dalam konferensi di negeri Jiran tersebut, aku diharuskan untuk membayar sejumlah fee yang sudah ditentukan, yang mana dengan kondisi finansialku pada saat itu, jumlah yang cukup banyak.
Namun, karena tekad dan semangatku yang kuat untuk bisa mengikuti kegiatan tersebut, maka aku pun berusaha untuk melakukan fundraising.
Aku sangat penasaran dan ingin mengetahui bagaimana proses birokrasi yang akan dilalui. Dan yang terpenting, aku ingin selalu belajar dan belajar, karena banyak waktu yang telah terbuang sia-sia di masa lalu.
Salah satu tujuanku mengikuti acara APYC Malaysia adalah untuk meningkatkan kapasitas/kemampuan pribadiku agar semakin lebih baik lagi.
Begitu pula bisa menjadi salah satu batu loncatan bagiku untuk melanjutkan kehidupan “kedua” yang telah diberikan Tuhan kepadaku.
Selain untuk fee, aku juga melakukan fundraising untuk biaya pembuatan paspor, yang mana akan jadi lebih mahal karena akan terkena denda. Disebabkan pasporku pernah “hilang”…(bersambung)